Pesan Bapak untuk Anaknya di Facebook (sebuah renungan)

0 komentar

Seorang pemuda duduk di hadapan laptopnya. Login Facebook. Pertama kali yang dicek adalah inbox. Hari ini dia melihat sesuatu yang tidak pernah ia pedulikan selama ini. Ada dua pesan yang selama ini ia abaikan. Pesan pertama, spam. Pesan kedua…..dia membukanya. Ternyata ada sebuah pesan beberapa bulan yang lalu.

Diapun mulai membaca isinya: Hai anakku...., ini kali pertama Bapak mencoba menggunakan Facebook. Bapak mencoba menambah kamu sebagai teman sekalipun Bapak tidak terlalu paham dengan itu. Lalu Bapak mencoba mengirim pesan ini kepadamu. Maaf, Bapak tidak pandai mengetik. Ini pun kawan Bapak yang mengajarkan. Bapak hanya sekadar ingin mengenang. Bacalah!

Saat kamu kecil dulu, Bapak masih ingat pertama kali kamu bisa ngomong. Kamu asyik memanggil: Bapak, Bapak, Bapak. Bapak bahagia sekali rasanya anak lelaki sudah bisa memanggil-manggil. Sudah bisa memanggil-manggil Ibunya”.

Bapak sangat senang bisa berbicara dengan kamu walaupun kamu mungkin tidak ingat dan tidak paham apa yang Bapak ucapkan ketika umurmu 4 atau 5 tahun. Tapi, percayalah. Bapak dan Ibumu bicara dengan kamu sangat banyak sekali. Kamulah penghibur kami setiap saat walaupun hanya dengan mendengar gelak tawamu.

Saat kamu masuk SD, Bapak masih ingat kamu selalu bercerita dengan Bapak ketika membonceng motor tentang apapun yang kamu lihat di kiri kananmu dalam perjalanan. Ayah mana yang tidak gembira melihat anaknya telah mengetahui banyak hal di luar rumahnya.

Bapak jadi makin bersemangat bekerja keras mencari uang untuk biaya kamu ke sekolah, karena kamu lucu sekali dan menyenangkan. Bapak sangat mengiginkan kamu menjadi anak yang pandai dan taat beribadah.
Masih ingat jugakah kamu, saat pertama kali kamu punya HP? Diam-diam waktu itu Bapak menabung karena kasihan melihatmu belum punya HP sementara kawan-kawanmu sudah memiliki.

Ketika kamu masuk SMP, kamu sudah mulai punya banyak kawan-kawan baru. Ketika pulang dari sekolah kamu langsung masuk kamar. Mungkin kamu lelah setelah mengayuh sepeda, begitu pikir Bapak. Kamu keluar kamar hanya pada waktu makan saja setelah itu masuk lagi dan keluarnya lagi ketika akan pergi bersama kawan-kawanmu.

Kamu sudah mulai jarang bercerita dengan Bapak. Tahu-tahu kamu sudah mulai melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Kamu mencari kami saat perlu-perlu saja serta membiarkan kami saat kamu tidak perlu.
 
Bapak bertanya-tanya sendiri dalam hati, adakah kawan-kawanmu itu lebih penting dari Bapak dan Ibumu? Adakah Bapak dan Ibumu ini cuma diperlukan saat nanti kamu mau nikah saja sebagai pemberi restu? Adakah kami ibarat tabungan kamu saja?

Kamu semakin jarang berbicara dengan Bapak lagi. Kalau pun bicara, dengan jari-jemari saja lewat SMS. Berjumpa tapi tak berkata-kata, berbicara tapi seperti tak bersuara, bertegur cuma waktu hari raya. Tanya sepatah kata, dijawab sepatah kata. Ditegur, kamu buang muka. Dimarahi, malah menjadi-jadi.

Malam ini, Bapak sebenarnya rindu sekali pada kamu. Bukan mau marah atau mengungkit-ungkit masa lalu. Cuma Bapak sudah merasa terlalu tua. Usia Bapak sudah diatas 60-an. Kekuatan Bapak tidak sekuat dulu lagi.


Bapak tidak minta banyak nak…Kadang-kadang, Bapak cuma mau kamu berada di sisi Bapak. Berbicara tentang hidup kamu, meluapkan apa saja yang terpendam dalam hati kamu, menangis pada Bapak, mengadu pada Bapak, bercerita pada Bapak seperti saat kamu kecil dulu.

Andaipun kamu sudah tidak punya waktu sama sekali berbicara dengan Bapak, jangan sampai kamu tidak punya waktu berbicara dengan Tuhanmu. Jangan letakkan cintamu pada seseorang di dalam hati melebihi cintamu kepada Tuhanmu.
 

Mungkin kamu mengabaikan Bapak. Namun jangan kamu sekali-kali mengabaikan Tuhanmu. Maafkan Bapak atas segalanya. Maafkan Bapak atas curhat Bapak ini. Jangan lupa sembahyang. Jagalah hati, jagalah iman.
-----
Pemuda itu meneteskan air mata, terisak. Dalam hati terasa perih tidak terkira...................
Bagaimana tidak? Sebab tulisan ayahandanya itu dibaca setelah tiga bulan beliau pergi untuk selama-lamanya.

********
Tulisan ini hanya meneruskan kembali apa yang diposting oleh kawan-kawan yang lain...

Mengintip Perbedaan Sistem Sekolah di Jepang dan Indonesia

0 komentar
Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.


Sumber: edukasi.kompasiana.com

Soe Hok Gie dan Kemunafikan

0 komentar

Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik Indonesia

0 komentar


Oleh: Prof. Rhenald Kasali, Guru Besar FE UI
Anak-anak Indonesia butuh pendidikan yang berkarakter, bukan pendidikan yang menghakimi. (foto ilustrasi)


Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.


Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.


Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”


“Dari Indonesia,” jawab saya.


Dia pun tersenyum.


BUDAYA MENGHUKUM


Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.


“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. 

“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.


“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.


Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
 
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.



Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.


Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.


Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.


***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.


Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.


Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.


MELAHIRKAN KEHEBATAN


Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.


Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. 
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.


Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)

Berkaca pada Revolusi Sepakbola Jerman

0 komentar
Pembinaan usia dini sepakbola di Borrusia Dortmund menjadi salah satu keberhasilan sepakbola Jerman.
"Sepak bola itu permainan sederhana; 22 orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman menang."

Kutipan itu keluar dari striker Gary Lineker setelah Inggris kalah dari Jerman lewat adu penalti pada Piala Dunia 1990. Pada era 1980 sampai 1990-an, dunia mengenal sebagai kejayaan Jerman. Julukannya Der Panzer karena main seperti tank. Jerman juara Piala Dunia 1990, finalis 1982 dan 1986. Jerman juga juara Piala Eropa 1980 dan 1996 serta finalis 1992.

Kunci sukses Jerman ketika itu adalah staying power. Tipe permainan mengandalkan kekuatan, daya tahan, dan disiplin. Orang lebih menilai sebagai gaya robot yang monoton tapi efisien. Main tak perlu cantik, ujung-ujungnya menang. Persis seperti kata Lineker.

Dalam perkembangannya, banyak tim menemukan kelemahan Jerman dengan ciri khas spesialis turnamen. Pukulan pun menimpa Der Panzer pada Euro 2000 dengan hanya mendapat 1 poin di putaran grup. Kemudian disusul gagal pada final Piala Dunia 2002, dan hanya sampai putaran grup Euro 2004 di Portugal.

Rentetan kegagalan akhirnya membuat DFB (PSSI-nya Jerman) berpikir mengubah konstruksi total sepak bola Jerman. Kebutuhan memperkaya tipe serangan adalah keharusan. Sejak itu fokus pada stamina dan kekuatan pemain diubah ke taktik, teknik, dan elemen tertentu pada gaya main.

Upaya untuk bangkit pada 2004 itu menemukan nakhoda yang pas pada sosok Juergen Klinsmann dan asistennya Joachim Loew. Dua orang itu membangun cetak biru sepak bola Jerman dari yang paling dasar. "Kami mulai berani berlatih umpan pendek dari belakang mengalir ke depan secepat mungkin dalam sepak bola dinamis," kata Klinsmann.

Revolusi Klinsmann berbuah euforia besar pada Piala Dunia 2006 di kandang sendiri. Saat itu Michael Ballack dkk menembus semifinal. 500.000 orang berkumpul di Gerbang Brandenburg, Berlin, khusus memberi hormat pada kejayaan pasukan Klinsmann. Dua tahun kemudian, kemudi beralih ke Joachim Loew. Generasi Loew mampu menembus final Euro 2008 dan semifinal Piala Dunia 2010 dan Euro 2012. Dunia mengelu-elukan anak-anak muda puak Aria yang tak lagi tampil kaku, tapi kreatif, dinamis, dan menghibur.

***

Cetak biru kebangkitan sepak bola Jerman tidak melulu fokus mencari pemain tim nasional. Tidak ada pemain bagus kalau klubnya jelek. Klinsmann merancang strategi simultan antara timnas dengan liga (Bundesliga).

Langkah pertama dan paling krusial, pembibitan pemain. DFB membantu Klinsmann menekan semua klub kasta tertinggi, divisi I dan divisi II untuk membangun akademi pemain dengan standar tertentu. Satu dekade terakhir, sebanyak 700 juta Euro (Rp 10,3 triliun) dikucurkan untuk membangun fasilitas pengembangan pemain muda. Akhirnya, Dortmund melahirkan Mario Goetze, Marco Reus, dan Sven Bender. Bayern Munich menelurkan Jerome Boateng, Toni Kroos, dan Thomas Mueller. Bayer Leverkusen menghasilkan Lars Bender dan Andre Schuerrle, dan masih banyak lainnya.

Menemukan pemain bagus baru separuh jalan. Langkah berikutnya menentukan identitas dan filosofi bermain. Staying power sudah kuno maka itu perlu dicari gaya baru. Klisnmann dan DFB menggelar workshop dengan pelatih dan pemain di Jerman.

Mereka diminta menulis dan menggambar skema tentang tiga hal: Permainan apa yang diinginkan, cara bermain seperti apa yang mereka inginkan dilihat oleh dunia, dan cara bermain seperti apa yang diinginkan dilihat orang Jerman.

Bahan itu disusun menjadi skema latihan dan taktik baru. Lahirlah Jerman baru berupa permainan menyerang, cepat, dan proaktif. Kata terakhir maksudnya jangan bereaksi terhadap apa yang dilakukan lawan, tetapi bermain dengan cara sendiri.

Klinsmann lantas menyusun kurikulum, mempresentasikan hingga diterima Bundesliga dan DFB.

Langkah berikutnya di luar sisi permainan, DFB dan Bundesliga menekankan pentingnya manajemen klub dan kompetisi. Klub harus sehat, liga juga harus hidup, diminati fans dengan persaingan ketat.

Data musim 2012, 18 klub Bundesliga menghasilkan revenue 2 miliar Euro (Rp 29 Triliun), rekor tertinggi sepanjang sejarah. Klub dijalankan dengan kebijakan 50+1 di mana tidak boleh ada individu mengontrol kepemilikan klub. Kalaupun ada penegecualian, hanya untuk tiga klub yaitu Bayer Leverkusen (dimiliki Bayer), Wolfsburg (dimiliki VW), dan Hoffenheim (dimiliki pendiri SAP Dietmarr Hopp). Dalam aturan 'Lex Bayer' itu, perusahaan boleh memiliki klub selama punya kedekatan sejarah lebih dari 20 tahun sebelum Januari 1999.

Klub harus dimiliki suporter sebagai partisipan dibanding customer. Kepentingan komersial tak boleh menguasai klub. Audi dan Adidas misalnya, masing-masing hanya punya saham 9 persen di Bayern Munich.

Kedekatan klub dengan suporter (yang juga pemilik) menjadikan Bundesliga menjadi liga paling populer di dunia dengan rata-rata penonton di stadion 44.293 orang per laga musim 2012. Peringkat berikutnya, Liga Primer Inggris rata-rata ditonton 35.000 orang per laga. Penonton datang tak lain karena harga tiket paling murah di Eropa. Rata-rata tiket termurah Bundesliga per partai sekitar Rp 160.000. "Kami tidak pernah menganggap fans adalah sapi yang kudu diperah. Sepak bola harus untuk semua orang," kata Presiden Bayern Munich Uli Hoeness.

Revolusi klub berdampak pada prestasi. Klub-klub Jerman mulai menguasai Eropa. Finalis Liga Champions 2013 adalah dua tim Jerman, Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Bayern juga finalis satu tahun sebelumnya.

***

Kunci sukses revolusi sepak bola Jerman terletak pada cetak biru yang terencana. Butuh tujuh tahun sejak 2004 bagi Jerman untuk meraup panen dari bibit yang ditanam. Kata kuncinya adalah pembinaan pemain muda dan kesempatan bermain terbuka pada level kompetisi tertinggi. Jadi, keberhasilan bukan lahir tiba-tiba dengan cara instan seperti naturalisasi atau mengirim anak-anak muda latihan lama di luar negeri.

Kunci berikutnya adalah kemitraan dan perencanaan bersama antara semua stakeholder sepak bola, baik tim nasional, federasi sepak bola, administator liga, hingga klub peserta liga. Semua pihak mengikat diri dari cetak biru bermuara prestasi. Ingat, muaranya prestasi, bukan bermuara kepentingan. Kalau muara kepentingan sudah merasuki, entah bisnis atau politik, biasanya sepak bola bukan jadi permainan di lapangan hijau, tapi lebih ramai di luar lapangan. Saking ramainya gontok-gontokan di luar lapangan, bakal menular ke pemain di dalam lapangan.

Klub juga harus berbenah. Pengelola klub tak bisa bangga cuma karena penonton banyak. Utamakan infrastruktur dan pembibitan pemain. Jangan pernah menjadikan klub kendaraan demi kepentingan politik lokal.

Selanjutnya, kebijakan tim nasional dan liga harus seiring sejalan. Uji coba harus terencana, tidak bisa tiba-tiba tim nasional bermain lawan tiga klub Eropa. Pelatih tim nasional harus punya peta jalan, sesungguhnya mau dibawa ke mana tim yang diasuhnya.

Fundamental dari modal kebangkitan itu hanya satu: mau belajar dari keterpurukan.(*)


Penulis: Titis Widyatmoko dimuat dalam Kolom Olahraga merdeka.com, Jumat, 30 Agustus 2013

Mengenang Profesor Soetandyo Wignjosoebroto

0 komentar





Beliau telah wafat di RS Elizabeth, Semarang, pada pukul 07.10 WIB, Senin, 2 September 2013 pada usia 81 tahun. Saya sebagai mantan anak didiknya melihat Prof memang sulit tergantikan. Dia adalah benar-benar seorang GURU BESAR. Kesahajaan, cara mendidik mahasiswanya, pemikirannya, tingkah polahnya, rasa akan terus terkenang dan menjadi inspirasi sepanjang hayat. Selamat jalan Prof. Kami semua sangat kehilangan. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang indah di sana.

Kisah Prof Soetandyo, Hidup Sederhana,Tidak Berumah–Mobil

0 komentar

Banyak hal yang dapat dipetik dari hidup Prof Soetandyo Wignyosoebroto. Hidup sederhana, membesarkan anak untuk mengapai cita-cita, mengajar dan memberi ilmu hukum  tanpa mengenal usia, seraya memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan, dan supremasi hukum di Indonesia.

Meskipun usia sudah senja (77 tahun), Guru besar emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, seakan mematahkan pandangan orang tentang “orang sepuh” itu. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik, serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, hukum, terus bergulir.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 ini,  yang pensiun sejak 10 tahun silam, tak lantas “berhenti berpikir”. “Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir untuk istirahat di masa pensiun, guru besar sosiologi dan pakar administrasi pemerintahan ini malah disibukkan banyak kegiatan. Desember 2007, penulis sejumlah buku ini masih meluncurkan karya terbarunya, Hukum dalam Masyarakat.

Maret 2009 silam lalu, Pak Tandyo masih memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu hendak menyadarkan pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL itu digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban itu. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibanding perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Sebagai profesor emeritus, hingga kini Soetandyo masih mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Surabaya dan Universitas Diponegoro (Semarang), menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berdiskusi dengan berbagai kalangan, memberi ceramah di sejumlah kota. Bahkan ia masih aktif di Huma, lembaga nonpemerintah yang bergerak masalah hukum berbasis ekologi.

Profesor yang Tidak Memiliki Rumah

Saat ini, Pak Tandyo tinggal di kompleks dosen Universitas Airlanggar Surabaya. Entah berapa lama lagi Prof Soetandyo akan bertahan di rumah dinas yang sudah dia huni sejak tahun 1958. Pihak Universitas Airlangga sudah mengeluarkan surat edaran meminta para dosen pensiunan segera meninggalkan rumahnya.

Menurut Prof Sutandyo, sebenarnya penghuni berhak membeli rumah itu setelah 20 tahun menempati, tetapi ketika itu rektor meminta supaya tidak membeli karena dapat mengurangi lahan kampus. Kemudian dibuatlah  perjanjian bahwa rumah boleh dihuni istri sampai 1.000 hari setelah meninggalnya suami. “Tampaknya perjanjian itu telah dilupakan,” ujarnya.

Meski tak punya rumah pribadi, sebenarnya ia tidak keberatan meninggalkan rumah dinas itu. ”Saya bisa tinggal di paviliun rumah anak saya,” katanya, ringan. Namun, para penghuni yang lain meminta dia tinggal agar kekuatan perlawanan menolak surat edaran tidak berkurang.

Jalan Berbelok

Rumah itu meninggalkan kenangan yang nyaris sempurna; kehidupan berkeluarga yang penuh, sampai sang istri, Asminingsih, yang hidup bersamanya sejak tahun 1965, berpulang pada 8 Juni 2005. Selama sang istri sakit,  Pak Tandyo merawat dan mendampingi sang istri sepanjang perjuangannya melawan kanker. Rasa kehilangan itu masih tersirat cukup pekat sampai kini.

    ”Saya sekolah dengan beasiswa. Waktu anak kedua lahir, sempat jual kulkas.  Sekarang keadaan ekonomi sudah jauh lebih longgar, mestinya saya berbagi dengan istri. Dulu kami selalu pergi berdua,” ungkap Pak Tandyo.

Ia merasa menjadi guru adalah takdirnya setelah ayahnya mendorong dia berangkat ke Michigan, Amerika Serikat. Saat itu studinya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tinggal skripsi. Ternyata itulah jalan untuk belok. Dia tidak menjadi hakim, tetapi guru.

”Saya baru tahu setelah pengukuhan guru besar tahun 1987. Saya sowan ayah saya yang sedang sakit. Saat itu ayah memeluk saya dan menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, ’Aku dulu disuruh eyangmu jadi guru, tetapi tidak mau. Sekarang anak-anakku semua jadi guru’.”

Bersahaja dengan Bersepeda ( Tidak Memiliki Mobil)

Pak Tandyo dikenang banyak orang karena kebersahajaannya. Ketika menjadi anggota Komnas HAM, gajinya sejak tahun 1993 sampai 2002 adalah Rp 800.000 ditambah uang transpor Rp 1 juta sebulan. Untuk mengirit uang transpor antarkota, dari bandara dia naik bus, namun disambung jalan kaki ke kantor Komnas HAM.

Pola hidup sederhana dan sehat dilakukan oleh Prof Tandyo dengan mengayuh sepeda ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. “Saya nggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya kan sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” kata ayah tiga anak dan lima cucu ini.

Suatu hari Sabtu, ia berangkat ke kampus untuk menguji ujian akhir mahasiswa. Ketika selesai, sepedanya tak ada di tempat. Karena dicari tak ketemu, ia langsung pulang. ”Saya pikir, kalau sudah hilang, ya sudahlah.” Saat tidur siang, ia dibangunkan karena ada laki-laki muda mengantarkan sepedanya. ”Ia pikir sepeda itu milik cleaning service. Katanya, ia cuma pinjam sebentar.”

Menjelang magrib, ia kembali dikejutkan oleh antaran sepeda baru yang dibeli para mahasiswa atas usul sosiolog Dr Daniel Sparringa setelah mendengar kabar sepeda Pak Tandyo hilang. ”Sekarang saya punya dua sepeda he-he-he….”, ungkap pak Tua dengan penuh tawa.

Demokrasi di Keluarga

Salah satu rahasia “awet muda” (bersemangat) dari Pak Tandyo adalah kemauan untuk beradaptasi dengan kenyataan. “Kalau tidak, saya menjadi konservatif, menjadi orang tua yang tidak bisa menerima keadaan. Hidup ini harus selalu menyesuaikan. Ini kan termasuk dalam teori perubahan dan perkembangan. Hewan bisa survive kalau beradaptasi dengan lingkungan, begitu juga manusia, tidak hanya fisik, tapi juga kultural,” kata lelaki berdarah Sunda (ayah) dan Jawa (ibu) ini.

Sayangnya kemauan beradaptasi itu tak disadari banyak orang. Bagi anggota Dewan Juri Yap Thiam Hien Award (2002) ini, anak muda justru lebih adaptif. Sebaliknya orangtua malah minta diseragamkan. “Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan,” ujarnya.

Boleh jadi faktor-faktor itu ikut memengaruhi karut-marut realitas sosial dan politik di negeri ini. Dalam kacamata Soetandyo, karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga.

“Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Boediono), tapi ‘negaraku’ itu keluargaku,” kata peraih Master Public Administration di Michigan University, AS, tahun 1963 ini.

Karena itulah, Soetandyo mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, maka bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena narkoba.

“Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil maka akan bisa me-mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Tetapi memulai sekaligus mengubah segalanya sangatlah tidak mudah. Terlebih lagi para pemimpin sekarang ini, bukan saja mewarisi kondisi yang sudah telanjur dari sistem lama, tetapi juga terjebak dalam permainan paradigma lama. Tak ada cara lain kecuali mengubah paradigma itu. Menurut Soetandyo, paradigma baru itu harus melompat, mengambil strategi yang benar-benar baru. Karena, problem tidak bisa dipecahkan dengan ilmu yang menyebabkan terjadinya problem tersebut.

***************

Selama berbulan-bulan,  media massa baik cetak maupun elektronik terus memberitakan kasus Prita Mulyasari. Dukungan moral pun terus bergulir setelah Prita didakwa harus menganti denda rugi sebesar Rp 204 juta dalam persidangan perdata. Aksi “Koin untuk Prita” mengalir, dari anak hingga orang tua, baik pria maupun wanita, dari masyarakat kaya hingga masyarakat miskin turut berpartisipasi. Sejak kasus Prita mencuat, saya tulis sebuah artikel pada Juni 2009. Artikel tersebut berjudul Prita Mulyasari, Indonesia Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?.

Artikel tersebut saya tulis sebagai bentuk dukungan moral. Setelah itu, saya tidak begitu mengikuti kasus Prita lebih intens. Masih banyak kasus yang lebih kompleks dan mengharukan yang dialami oleh orang-orang yang kondisinya lebih buruk daripada Prita. Namun, kita menjadi lupa dan hanya fokus pada satu persoalan ini saja. Kita berteriak memberi dukungan untuk membela benar, namun disisi lain secara sengaja kita kita membuat kesalahan kecil yang menghianati kebenaran.  Ketika kita ikut-ikutan dalam “Koin untuk Prita”, disisi lain kita tidak begitu peduli dengan orang-orang disekitar kita yang mengalami ketidakadilan atau kesulitan hidup yang lebih buruk.

Ketika kita memberi dukungan kepada seorang sosok karena pemberitaan fenomenal dari media, disisi lain kita lupa bahwa ada orang-orang yang luar biasa, yang telah menyisihkan hidupnya untuk kemanusiaan dan kebenaran. Kita hanya berpikir tanpa memberi aksi nyata kepada Suster Apung yang berjuang menyeberang laut untuk suatu tugas mulia, ‘menyembuhkan yang sakit, menyelamatkan yang sekarat’. Ada begitu banyak orang yang mestinya kita beri apresiasi, namun kita terlupakan.

Dan salah satunya adalah Prof Tandyo yang telah berjuang dan menyisihkan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan masyarakat luas, untuk membela keadilan dan supremasi hukum Indonesia, yang terus menyemai ilmu bagi generasi muda Indoensia.

Salam Nusantaraku,
ech-wan, 20 Desember 2009

diambil dari: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/