Rumahnya agak menjorok ke dalam
Dusun Drigu, Desa Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasi rumahnya
terpencil dari peradaban manusia lainnya. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar
suara hiruk pikuk manusia dan lalu lalang kendaraan bermotor. Tetapi semua itu
tenggelam dalam orkestra kodok dan jangkrik yang lebih kentara terdengar di
luar.
Rumah sederhana itu sekelilingnya
dipenuhi kebun yang rimbun: kebun apel, cabai, tomat, dan sayur-sayuran yang
dipagari kawat dan kayu. Hanya ada satu jalan untuk mencapai rumah itu,
melewati jalan tanah coklat setapak yang jarang diinjak manusia.
Bagi beberapa orang tempat ini
membosankan, apalagi kalau malam. Di luar nyaris gelap gulita tak ada
kerlap-kerlip lampu-lampu bohlam tetangga. Tapi jangan kaget bukan main
alangkah indahnya suasana alam di pagi hari. Tepat di depan rumah, dengan
sombong Gunung Semeru kokoh tegak menantang.
Desa Poncokusumo memang daerah
dingin di lereng Gunung Semeru, 30 km dari Kota Malang. Udara bersih dan sejuk
didapat secara gratis sepuasnya. Sesuatu hal yang langka bagi orang kota.
Beruntunglah Paul Cumming dapat
menghabiskan massa tuanya di tempat itu. Tapi benarkah dia beruntung?
Ada yang masih ingat dengan Paul
Cumming? Seseorang yang menjadi idola suporter klub Galatama asal Jakarta,
yaitu Indonesia Muda di tahun 1981 hingga 1983. Beberapa mengenangnya sebagai
sosok pelatih asing kontroversial yang amat dicintai masyarakat Papua, namun
dibenci suporter bola asal Jawa di pertengahan dekade 80an.
Permainan keras yang menjadi ciri
khas Perseman Manokwari kala itu membuat anak asuh Paul dicaci habis-habisan
baik oleh pengamat, media maupun penggila bola. Bergeming, Paul tetap
melanggeng dengan polanya yang terkenal keras -- PSMS Medan pun bukan
tandingannya.
Benar saja, usai menjadi juara
Divisi I tahun 1983, Perseman menjadi kuda hitam baru di kompetisi perserikatan
dengan menjadi tim terbaik nomor empat di tahun 1985, serta runner-up 1986
sebelum ditaklukan Persib Bandung 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman di
partai Grand Final.
Paul adalah pula legenda bagi
masyarakat Bandar Lampung. Namanya melegenda tapi dia bukan tokoh fiksi. Paul
adalah manusia nyata. Kesuksesannya menangani klub Papua membuat ia ditarik
mantan Gubernur Lampung, Poedjono Pranoto, untuk membesut PSBL Bandar Lampung.
Sepakbola Lampung pun menuai kejayaan. Setelah selalu berkutat di Divisi II, Paul
bisa membawa PSBL promosi ke Divisi I dan Divisi Utama. Pekerjaan yang tak
mudah tentunya.
Usai dipensiunkan secara paksa
dari PSBL akibat keuangan klub yang defisit, Paul terpaksa menganggur.
Beruntung kemudian Perseman mengontaknya kembali. Sampai tahun 2011, Paul
kembali menetap di Papua sembari sempat melatih tim PON Papua Barat dan
Persiwon Wondama.
***
Di Indonesia, Paul adalah orang
kedua yang dinaturalisasi akibat urusan sepakbola. Orang asing pertama yang
menjadi WNI gara-gara sepakbola adalah Toni Pogacnik, eks Pelatih Timnas tahun
1950an. Dan orang kedua itu adalah Paul Cumming, seorang Londoners yang teramat
cinta kepada Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Di masa itu sangat langka
pesepakbola atau pelatih asing yang ingin berganti kewarganegaraan menjadi WNI.
Paul termasuk orang langka itu. Prosesnya tidak mudah dan berbelit-belit.
Selain memakan waktu lama, besarnya kontribusi terhadap sepakbola Indonesia pun
menjadi kewajiban utama lainnya bagi siapa pun yang ingin jadi WNI.
Proses Paul menjadi WNI tidaklah
semudah yang diterima Sergio Van Dijk, Kim Jefrey Kurniawan atau pemain asing
naturalisasi lainnya. Setelah menunggu waktu 19 tahun, pasca kedatangannya
pertama kali ke Indonesia tahun 1980, akhirnya pada 10 November 1999,
Pengadilan Negeri Bandar Lampung mengetok sah dirinya sebagai WNI. Beruntung
nasib Paul tak setragis sang pendahulu Toni Pogacnik yang keburu meninggal
sebelum dirinya disahkan sebagai WNI.
Paul adalah generasi awal pelatih
asing yang berani membesut klub-klub sepakbola di Indonesia. Dia seangkatan
bersama Marek Janota, Wiel Coerver, dan Fred Corba. Mereka menjadi bagian dari
kebangkitan kompetisi Galatama. Mereka pun jadi saksi, betapa Galatama
porak-poranda akibat pengaturan skor ulah mafia judi bola.
Pengalaman pahit saat berniaga di
pedalaman dan pesisir Papua
Entah mengapa dia betah
berlama-lama di Indonesia, toh secara finansial kehidupan Paul biasa-biasa
saja. Selama ini selalu ada persepsi bahwa orang asing yang tinggal di
Indonesia adalah kaum borjuis berdompet tebal. Paul jauh dari anggapan seperti
itu. Dia mungkin "pebola naturalisasi" paling malang di Indonesia.
Dari dulu hingga sekarang, dompet cekak selalu ia rasakan.
Hidupnya selama Papua di awal
tahun 1990an terkadang butuh perjuangan ekstra dan menderita. Untuk tetap bisa
bertahan hidup, ia tinggal di daerah pedalaman dan berdagang sembako
menggunakan perahu dari pulau ke pulau di Teluk Cendrawasih.
Sialnya, usahanya itu kena tipu
orang. Karena terlalu percaya, ia serahkan semua perniagaan kepada anak
buahnya. Sang anak buah berdusta mengatakan kepada dirinya kapal terbalik dan
barang dagangan habis tercebur ke laut. Ia pun dinyatakan bangkrut total,
karena harus membayari barang-barang jualannya yang belum dibayar. Tapi ia tak
menyerah dan kembali meniti usaha perniagaan berjualan sembako ke daerah
tambang-tambang.
Akan terasa "ngeh"
melihat bule di pedalaman Papua untuk menyambung perut ia harus menaiki motor
trail dengan barang bawaan sembako penuh. "Jalannya menanjak bukan main,
untuk menempuh tambang saya harus berkendara 8 jam melewati hutan sembari bawa
barang-barang digendong di belakang," ucapnya.
Baru beberapa bulan usahanya
berjalan, Paul kembali terkena sial. Lagi-lagi ia kena tipu akibat bujuk rayu
oknum warga yang meminta ia meninggalkan barang dagangannya di tambang. Ia pun
hanya mengelus dada meratapi nasibnya itu.
Kisah-Kisah Sukses yang Dibalas Air Tuba
Usai terkatung-katung selama
tinggal di Papua, Paul Cumming akhirnya menemukan tempat berkarier baru. Adalah
Tony Betay yang membawanya untuk menangani PSBL Bandar Lampung. Gubernur
Lampung saat itu, Poedjono Pranyoto, yang memimpin Lampung selama 2 periode
(1988-1993 dan 1993-1998) meminta Paul mengembangkan sepakbola di Lampung.
Paul dan Poedjono bukan kali itu
baru saling kenal. Saat Paul membesut Perseman Manokwari, kebetulan waktu itu
Poedjono menjabat sebagai wakil gubernur Irian Jaya. Di situlah awal perkenalan
keduanya. Poedjono sedikit banyak mengerti bagaimana Paul mampu membangkitkan
kesebelasan semenjana seperti Perseman. Untuk itulah, guna menghidupkan kembali
PSBL, Paul diminta bekerja di Lampung.
Karenanya, selama tujuh tahun
Paul membesut PSBL (1991-1998). Di saat prestasi PSBL mencapai titik puncak
dengan mampu lolos ke babak 4 Besar Liga Indonesia di Senayan, krisis politik
menimpa Indonesia dengan lengsernya rezim Orde Baru. Kerusuhan di Jakarta
membuat kompetisi ditunda, tim yang sudah menginap di Jakarta pun terpaksa
kembali pulang.
Selang beberapa bulan kemudian,
efek domino krisis ekonomi nasional mulai berimbas pada klub. Demi alasan
penghematan, Paul terpaksa dipensiunkan. Tahun 1998, usai pemecatan itu, ia pun
kembali berjuang melawan tekanan ekonomi dan beralih haluan membuka usaha
penyewaan perahu di Pantai Ringgung, Lampung Selatan.
Tragedi lain dalam kehidupan Paul
pun kembali mengintai….Perahu, kios kecil dan bulan-bulanan preman.
Ia mempunyai 12 perahu atau
sampan yang biasa disewakan kepada nelayan atau wisatawan. Tarif yang ia patok
berkisar Rp10.000 – Rp 15.000 per hari. Ia juga memilki kios kecil di pinggir
pantai. Dengan cekatan ia akan membuat kopi atau mie rebus bagi wisatawan yang
memesan. Sayang, usahanya itu tidak berjalan memuaskan.
Selain sepi, ia pun kerap dipalak
preman-preman. Dana setoran sewaan dan keutungan warung terpaksa ia serahkan
kepada preman-preman. Terkadang ia sembunyi di kebun atau hutan selama
berjam-jam, menunggu preman yang tak lelah mengganggunya itu pergi dari
kiosnya.
Jika tak setor, Paul terus
menerus diteror dan diganggu. Sebagai seorang pecinta hewan, banyak piaran ia
punya mulai dari monyet, anjing, burung, domba hingga kucing. Tragisnya, hewan
piarannya satu per satu mati diracun orang. Seekor domba jantan langka yang
doyan makan kabel dan pernah membuat Lampung geger karena kebiasaannya itu pun
mati diracun orang yang konon tak suka padanya.
Kriminalisasi memang sudah
menjadi bagian dari hidup Paul. Bukan sekali dua perahunya dirusak dan dicuri
orang. Sudah 12 kali perahunya hilang dan rumahnya kecurian. Entah siapa
pelakunya.
"Saya juga heran, saya
sangat dikenal di Lampung tapi kenapa mereka memperlakukan saya seperti
ini?" keluhnya.
Petaka ditusuk preman
Puncak kesialan Paul terjadi 27
Juli 2001. Ketika itu dia berkunjung ke toko sembako 'Senang' di Bandar Lampung
untuk membeli bahan pokok yang akan ia jual di pondok kecilnya. Kebetulan di
toko itu ada 15 preman bersenjata samurai, golok dan pisau sedang memalak
pemilik toko.
Tanpa sebab alasan, seseorang
dari mereka mengejar Paul. Enam tusukan pisau ditancapkan ke punggungnya.
Dengan luka berceceran Paul berusaha kabur dan langsung melapor ke kantor
polisi. Bukan pertolongan yang ia dapat, pihak aparat malah memintanya terlebih
dahulu membuat laporan bertele-tele, padahal kondisinya saat itu berlumuran
darah. Sebuah kisah klasik polisi di Indonesia.
Beberapa lama kemudian, sang
pelaku bernama Beny ditangkap. Belum lama luka tusukan itu terasa, keluarga
Beny dan rekan-rekan premannya mendatangi Paul. Di bawah tekanan dan ancaman,
secara terpaksa Paul memaafkan Beny dengan menandatangi surat damai di Polres
Bandar Lampung. Alhasil hukuman Beny pun sangat ringan.
"Waktu itu di pengadilan
sedang ada dua kasus persidangan, kasus penusukan saya dan kasus yang maling
ayam. Yang kasus saya, Beny hanya dijatuhi hukuman 6 bulan, sedangkan yang
maling ayam hukuman penjara 2 tahun," tuturnya sembari tersenyum.
Kepedihan selanjutnya
Tak tahan dengan situasi itu,
akhir tahun 2001 Paul pergi ke Nabire, Papua. Saat di Papua ia memang memiliki
rumah di sana. Alangkah kagetnya saat kembali ke Nabire tak ada yang tersisa
dari rumah itu. Semua perabotan barang yang ia kumpulkan semasa berjuang
mati-matian naik turun gunung, berlayar dari satu pulau ke pulau lain nyaris
tak ada sisa. Tinggal atap dan tembok saja. Semua harta sudah ludes, apa yang
ia miliki di Lampung sudah dijual demi merenovasi rumah di Nabire.
Tahun 2002, Perseman Manokwari
kembali mengaetnya. Gajinya teramat kecil. "Tak apa kecil, yang penting
ada uang buat makan," katanya. Sayang, lagi-lagi karir Paul tak lama.
Semusim kemudian, dia tak lagi dipekerjakan Perseman.
Usai diberhentikan oleh Perseman
2003, kembali hidupnya menderita. Di tahun itu ia sempat sakit malaria, tak
punya uang untuk ke dokter Paul pun merana di pondok kecilnya. Ia memang
tinggal sendirian dan jauh dari keramaian, Sejak tinggal di Lampung ia memang
senang menyendiri. Saat tingga di Nabire, tetangga terdekatnya paling banter 1
km. Dalam kondisi sakit malaria dan terasing, beruntung seseorang pengusaha
Julius Permadi menjemputnya dan merawatnya hingga sembuh.
Setelah sehat, di tahun 2004, ia
memutuskan sementara waktu untuk ikut sang Istri yang menjadi guru di Malang
terlebih waktu itu Nabire dilanda gempa hebat, ia pun mengungsi. Tak menganggur
lama, Paul diajak untuk melatih tim futsal Universitas Airlangga di Surabaya
tahun 2005. Feedback yang dapatkan sangatlah kecil, Sebuah tempat tinggal dan
Gaji bulanan 1 juta per bulan. "Tak ada pemasukan lain, semuanya
diirit-irit," ungkapnya.
Setahun kemudian, PSBL kembali
memanggilnya, ia pun kembali ke Lampung. Paul kali itu dijadikan alat politikus
oleh calon yang hendak ingin maju jadi walikota Bandar Lampung. Jadi kendaaran
politikus memang tak mengenakan. Setahun melatih PSBL ia sama sekali tak
dibayar. Ada hikmah di balik musibah, Dewi fortuna mendatanginya, panggilan
datang dari Bupati Teluk Wondama Papua Barat. Ia diminta mengembangkan
sepakbola di kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12.000 keluarga itu.
Diberi kepercayaan, semua hal ia
curahkan. Mulai dari mendesain kostum, membelikan sepatu pemain, mengumpulkan
suporter, hingga membenahi manajemen klub. "Di sana itu masyarakatnya tak
begitu suka bola, tak ada pemain bagus dan lapangan yang layak," tuturnya.
Apa yang dilakukan membuahkan
hasil, Persewon yang biasa berkutat di Divisi III lolos ke tahapan selanjutnya.
Berkat tangan dinginnya juga nama Patrich Wangai berhasil ditemukan. Bersama
dengan Paul, Patrich berhasil membuat Persewon lolos ke Divisi II, setahun
berikutnya ke Divisi I. Tahun 2008, ia diminta untuk membesut tim PON Papua
Barat di ajang PON Kaltim.
Tak mengecewakan, anak asuhnya
bermain bagus. Sang juara Jawa Timur digebuk 2-0. Hanya saja, permainan kotor
yang dilakukan DKI Jakarta membuat timnya kalah 2-0. Alhasil di laga penentuan,
Jatim dan DKI bermain mata. Hasil imbang di antara keduanya cukup untuk membuat
Papua Barat terhenti di babak 6 besar.
Air susu dibalas air tuba
Usai gelaran PON berakhir, ia
kembali ke Persewon, sampai petaka tersebut terjadi. Gonjang-ganjing
kepengurusan PSSI di Jakarta tahun 2010 membuat perjalanan kompetisi jadi tak
menentu. Usai menjalani kompetisi Divisi I di Banyuwangi, agar tak bolak-balik
Papua-Jawa dan menghemat ongkos, tim melakukan latihan di Malang. Bulan demi
bulan berlalu, sejak Desember 2010 hingga Agustus 2011 tim tetap kompak rutin
latihan.
Hanya saja di penghujung bulan
Agustus kabar tak enak itu tiba juga. Secara sepihak manajemen klub Persewon
memecat Paul. Kerugian finansial yang ia dapat tidaklah sedikit, selain gaji
yang tak dibayar selama 10 bulan ia pun harus menalangi biaya akomodasi tim
selama berbulan-bulan latihan di Malang.
"Uang saya tak diganti, mau
gimana lagi. Kerugian saya mencapai puluhan juta. Uang segitu bagi saya
sangatlah berarti, itu uang hasil nabung bertahun-tahun," keluhnya.
Stresnya kian bertambah setelah
tahu untuk kedua kalinya, satu-satunya harta yaitu rumah di Nabire, rata dengan
tanah. Lebih parah lagi, semua isi perabotan rumah, elektronik, parabola bahkan
sampai kusen, pintu, jendela, dan atap aluminium ludes dijarah orang “Di sana
sekarang sudah rata dengan tanah, karena besi-besi rangka pun dicuri membuat
tembok jadi ambruk,” ucapnya dengan raut sedih.
Walau Sakit, Terus Berusaha Lagi, Lagi, dan Lagi
Usai dipecat dan dirugikan secara
sepihak oleh manajemen Persewon Wondana, Paul Cumming nyaris tak punya
kegiatan, pekerjaan, dan penghasilan. Rumahnya di Lereng Semeru sejak 2011 pun
bukan miliknya, melainkan investasi sang kakak, Rosalind Cumming -- seorang pelukis
yang cukup punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.
Tragisnya, saat proses membangun
rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp
40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah
yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya
awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak.
Ia merasa dijahili habis-habisan
para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana Rp 400 juta yang ia
keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang ditaksir hanya sekitar
sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi semen yang pas,
arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring. Alhasil,
penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki rumah.
Tapi Paul tak mau berdiam diri.
Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang banting tulang sebagai
guru dengan gaji dan kepedulian kepada dirinya yang tak seberapa itu. Mustahil
berpangku tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk
bertahan.
Karena itu, dengan modal seadanya
yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian belakang rumahnya ia
membuka usaha rental Play Station. Banyaknya unit mencapai 7 mesin. Tarif yang
ia patok Rp 2.000/jam. Seberapa menguntungkan sih bisnis seperti ini? Ya
"receh" saja. Per bulan ia hanya bisa meraup omzet kotor kisaran Rp
600 ribu - 1 juta. Hasil itu harus dipotong dengan biaya listrik dan gaji anak
tetangga berusia 14 tahun yang membantunya menjaga rental.
Anak itu bernama Fikri. Saat ini
dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15 ribu untuk mengurusi rental PS
dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat setiap bulan jarang masuk kantong
pribadi, lebih sering untuk membayar listrik, gaji Fikri maupun servis stik PS
yang sering rusak.
Berbagai macam upaya ia lakukan
untuk menambah uang. Meja foosball usang yang ia punya, disewakan dengan harga
seribu perak setengah jam. Banyak anak-anak yang pakai, tapi seringnya dipakai
tanpa bayar.
Di belakang rumahnya, ia pun
memiliki kolam renang sederhana, airnya diambil dari PAM desa. Untuk memenuhi
kolam itu dengan air PAM desa, Paul harus menunggu sampai 7 hari 7 malam.
Sebulan kolam itu efektif dipakai
paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul seorang diri untuk menyikat
dan mengurasnya. Maklum, air desa sering berlumut dan berdaki. Untuk berenang
di sana, ia mematok tiket Rp 1.000 sekali masuk. Paul sebenarnya ingin
menaikkan harga itu dari jadi Rp 2.000, tetapi ia merasa berat.
Dalam suatu adegan yang saya
lihat dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan keinginannya itu
kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau dinaikkan jadi dua
ribu, masih mau gak?" tanya Paul. "Gak Om, mahal," jawab sang
bocah.
"Tuh, kan, lihat, mereka gak
mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang ke saya, jika dinaikkan
dua ribu, mereka lebih memilih berenang di sungai daripada di sini,"
ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.
Tahukah anda penghasilan yang
diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya itu? Hanya Rp 25
ribu/bulan yang masuk dompet.
Play Station yang jadi sandaran
hidup
Malam itu waktu menunjukan pukul
21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik. Mata Paul
sayup-sayup tak kuat menahan rasa kantuk. Tapi ia tampak gelisah tak karuan.
Sebabnya, dua gerombolan remaja datang secara bergantian untuk menyewa Play
Station untuk dibawa pulang ke rumah. Tarif yang dipatok Paul untuk menyewa
seharian adalah Rp 20 ribu/hari.
Tetapi malam itu Paul mencium
gelagat tak mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama seperti berita di koran
lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak SMP yang di-drop out
gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari rumahnya.
Setelah diusir secara halus, ia
takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak bisa tidur. Play Station
miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga baginya. Kendati hasilnya tak
seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang itu adalah penyambung hidup di masa
senja. Ia tak ingin PS-nya kembali dicuri orang.
Sejak memulai usaha, sebenarnya
ia memiliki 10 buat Play Station, namun tiga bulan lalu Paul kecurian, dua
mesinnya raib dirampok maling. Yang lebih getir, yang mencuri adalah anak
kampung yang dipercayakan menjadi pembantunya menjaga rental PS. Sedangkan satu
mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah dikembalikan hingga sekarang.
Tinggal di Malang, Paul selalu
bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya tetap saja tak lepas dari ditipu,
dijahili dan dizalimi. Sering pelanggan rental PS nya kabur dan tak bayar.
Sering pula ia kena SMS teror dari warga sekitar. Propaganda guru ngaji di
kampung, sempat membuat usahanya nyaris gulung tikar.
"Guru ngajinya pernah bilang
ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk surga. Gara-gara
ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS lagi,"
katanya.
Kejahatan dibalas dengan senyuman
Usaha lain tak letih-letihnya
dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun sempat bertani dengan menanam pohon
jeruk di kebun belakang rumahnya. Ada 100 pohon, biaya perawatannya mencapai 2
juta rupiah. Hasil panen yang didapatkan hanya 450 ribu. Sialnya lagi, Paul
ditipu oleh petani lokal yang mem-blow-up biaya perawatan menjadi berkali-kali
lipat.
Kini pohon jeruk itu masih
tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar. Terkadang Paul kesal jeruk-jeruknya
yang tak terawat itu hilang dicuri orang.
"Kurang ajar juga anak-anak
itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka mencuri," geramnya.
Di dusun itu terkadang Paul
memang tak dihargai. Kerap diledek dan dibentak anak-anak desa yang jadi
pelangganya. Hanya saja semua itu dibalas kakek tua itu dengan senyuman lebar
yang jadi ciri khasnya. "Pelanggan adalah raja," tuturnya singkat.
Anak-anak itu mungkin tak tahu
siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang lebih berjiwa
nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela tinggal di pedalaman
hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk mengembangkan sepakbola.
Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit malaria hingga 14 kali: 4 kali
malaria tropika, 10 kali malaria tessiana.
Takut melatih lagi karena
penyakit
Sudah menjadi tekadnya, Paul
enggan melatih klub-klub besar di tanah Jawa.Ia mengaku lebih bersemangat
membesarkan klub-klub kecil yang belum dikenal orang macam Perseman Manokwari
dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran dari Persib Bandung dan Persebaya pernah
ditampiknya dengan alasan idealismenya itu.Tapi kini idealisme itu kini hanya
jadi cerita. Toh ia enggan kembali menjadi pelatih sepakbola. Oleh dokter ia
diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis penyakit rematik yang
menyerang tulang belakang].
"Dokter bilang ke saya gak
boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi saya gak akan bangun lagi.
Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma untuk kembali melatih sepakbola
takut terpeleset saat latihan," ujarnya.
Tragis memang. Saat ini ia pun
menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan terus menerus mengeluarkan
darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun lamanya. Plester dan perban selalu
terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku, tapi itu bukan
penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini tak
sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya. Keuangannya yang
pas-pasan jadi penyebabnya.
Untuk berobat ke Kota Malang,
setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta ongkos Rp 250 ribu untuk
menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik motor dan angkutan umum.
Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.
"Saya tak punya uang untuk
sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya harus sewa mobil ke tetangga
250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya sembari mengerut.
No Country for Old Man
"Trims banyak. 99,9% orang
di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya unlucky saja."
Kalimat di atas diucapkan Paul
Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun twitter-nya
[@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention seseorang yang
mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung
berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal
About the Game di detiksport ini.
Lihatlah, dia bahkan tetap
mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah serangkaian
pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang Indonesia. Apa
yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu?
Naif? Entahlah.
Mungkin ini yang disebut
"cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947 ini memang mencintai
Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.
Andai Paul masih menjadi warga
negara Inggris, di usianya yang sudah menginjak 66 tahun ini dia akan bisa
menikmati akhir pekan yang manis. Jika masih jadi warga negara Inggris, dia
bisa menikmati tunjangan masa tua dari pemerintah sebesar 50 poundsterling per
minggu. Dengan nilai tukar sekarang, angka itu sekitar 3 juta rupiah per bulan.
Jumlah itu belum ditambah dengan biaya transportasi dan kesehatan yang gratis
serta mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.
Dan itu semua bisa diperolehnya
dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para pembayar pajak lainnya jika
sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan dengan 650 ribu yang diperolehnya dari
usaha menyewakan play station.
Dan yang pasti, Paul bisa
berjalan-jalan keliling London, menonton pertandingan Liga Inggris secara
langsung di stadion, atau sesekali pergi ke Anfield untuk menonton kesebelasan
Liverpool yang sangat dia sukai. Bukan seperti sekarang yang hanya menonton
Liverpool melawan Chelsea pada kompetisi game Winning Eleven di ruangan 2 x 3
meter di belakang rumahnya.
Dia sendiri bukannya tak ingin
untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar menjumpai handai taulannya yang masih
hidup. Tapi nyaris mustahil dia pergi ke Inggris. Jangankan untuk berangkat ke
sana, untuk sekadar berbicara dengan saudara lewat telepon pun Paul tak
sanggup. Hingga hari ini, sudah hampir 38 tahun ia tak kembali ke Inggris.
Ia pernah dijanjikan tiket pulang
saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja, tiket kepulangan itu bukan
tiket pulang pergi ke London, tapi pulang pergi ke Pantai Ringgung, salah satu
pantai di Lampung yang memang jadi kediamannya selama di Lampung.
Satu-satunya penyesalan untuk
kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu ibundanya. Dia
mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami di Indonesia
pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang ibu, dia
hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia.
Dan untuk satu hal ini, untuk
urusan dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Saya
melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana inginnya dia
mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari kelahirannya yang
ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk ibunya. Tapi kado
itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup dibayarnya.
Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun Paul bisa melihat
ibunya lagi.
Apakah Paul menyesal? Sama sekali
tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia mantap berkata:
"Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah menyesal jadi
WNI."
Jika pun masih ada hasrat yang
tersisa, dia masih memendam keinginan untuk menengok kembali tanah
kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum dia menutup mata untuk
selama-lamanya.
**
Saya pribadi tak ada maksud
jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk kembali mengungkit-ngungkit
kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk mangajaknya berbicara dan mengenang
sepakbola Indonesia di dekade 1980-1990an. Saya harap, dengan berbincang
bersama orang bule, kami bisa bicara-bicara secara lebih terbuka.
Saya memang mendapatkan
cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi hanya sedikit.
Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat sendiri berlangsungnya
sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di kediamannya.
Saat saya masuk, ternyata di
dalam ada tamu. Saya diam menyimak pembicaraan-pembicaraan yang ada. Tamu
tersebut ternyata sekretaris notaris yang menguruskan administasi surat-surat
tanah Paul. Perhatian saya mulai tertarik ketika melihat respons serta gesture
Paul saat mengetahui berapa nominal pajak yang meski ia bayar.
"Dua juta yah?" katanya
sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang sayangnya saya tidak punya
uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650 ribu dari hasil rental PS,
bagaimana?" katanya lagi.
Saya langsung mengabarkan apa
yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil misi pun berubah. Editor
saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul dengan lebih detil, bukan untuk
menguak-nguak cerita sedih, tapi terutama untuk memotret bagaimana seorang
"perantau sepakbola" sepertinya punya daya tahan yang luar biasa
menghadapi deraan persoalan hidup yang seakan tiada putus.
Kisah-kisah sedih Paul memang
bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Beberapa media
besar seperti koran Tempo, Kompas, majalah Kartini dan media-media lain, baik
cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah hidupnya.
Saat kisahnya diangkat ke majalah
Kartini tahun 2001 silam, banyak orang yang ingin ingin menyalurkan bantuan dan
meminta nomor rekeningnya. "Saya tolak permintaan itu, saya bukan tipikal
orang yang dengan mudah menerima bantuan orang lain selama saya mampu
berusaha," katanya.
Prinsipnya itu dilakukan hingga
sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan menjelang kepulangan pun enggan
ia terima. Setelah saya paksa dan "ancam" baru ia mau menerimanya.
Dia punya rasa hormat yang sangat
tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa hormat yang ia
punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira, itulah sebabnya dia
masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu sangat baik dan ramah,
saya mungkin hanya unlucky saja".
**
Setelah feature saya beredar di
dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal.
Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak jelas, selain karena sinyal yang
menjemukkan, intonasi dan logatnya pun aneh. Ternyata dia Paul Cumming. Alamak,
saya lupa menyimpan nomornya.
Dalam perbincangan yang singkat
itu, Paul berterima kasih dan senang dengan respons masyarakat Indonesia
terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa ketika dia mengeluhkan ada salah satu
tulisan di kolom komentar yang bernada sinis kepadanya. Tetapi ia tak marah.
"Komentar semuanya bagus," katanya dengan logat bahasa Inggris yang
masih teramat kental.
Paul memang masih bisa mengakses
internet. Selama ini hanya akses internetlah yang menghubungkan Paul ke dunia
luar. Saling bertukar email dengan saudara dan mantan rekan yang menggeluti
dunia sepakbola. Internet itu diaksesnya lewat laptop usang dan sebuah modem
yang sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga. Kadang dapat, kadang tidak.
Laptop itu ia beli 2010 silam
semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu yang melekat di
atas keyboard laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan barang itu memang
akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari rentalan PS selalu ia
sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara selektif untuk
menghemat pulsa.
Selain laptop, kekayaan lain yang
dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat kabar. Paul memang apik
dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren yang saya temukan di sana,
mulai dari teamsheet final Persib Bandung versus Perseman Manokwari tahun 1986
hingga lampiran Match Day Program klub lokal Inggris tahun 1903.
Khusus kliping tentang dirinya
sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa, kliping-kliping yang selalu
memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari diminta deportasi oleh Solihin GP
yang waktu itu menjabat Ketua Umum Persib tahun 1985 [saat itu Persib bertemu
Perseman di final Divisi Utama Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung
2001 silam.
Ada pelajaran hidup yang saya
dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran dan kesabaran, ia bukan tipikal
orang senang menyelesaikan masalah dengan kemarahan. Beberapa kali saya tertawa
geli saat ia menceritakan bagaimana mantan-mantan asisten dan pemainnya
bersikap yang membuat ia jengkel, mulai dari pengaturan skor, mabuk-mabukan,
melakukan tindak kriminal hingga menghamili anak orang. Semua itu
diceritakannya dengan jenaka tanpa ada dendam.
Humor seringkali menyelamatkan
seseorang dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan. Paul tahu benar
fungsi humor itu. Jika ada yang mengatakan bahwa humor paling berkualitas adalah
humor yang sanggup menertawakan diri sendiri, Paul adalah masternya. Saat
derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak sekalian saja menertawakannya
jika dengan itu kita bisa bertahan lebih panjang -- setidaknya agar waras di
kejiwaan?
Sepakbola adalah hidup Paul
Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia dikecewakan
berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak mungkin dia lupakan.
Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
Dia kini tak bisa lagi melatih
karena cedera tulang belakangnya membuatnya sangat berhati-hati agar tidak
terjatuh lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya yang bisa membuatnya
sakit dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter berkata padanya.
Agar tetap terhubung dengan
sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental play station adalah
salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara fiktif
sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya pada
sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya sendiri.
Di masa mudanya, semua uang saku
yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton pertandingan di hari Sabtu. When
saturday comes bukan parafrase yang klise bagi Paul muda, itu parafrase sangat
menyenangkan baginya.
Di masa tuanya sekarang, dia
beruntung mempunyai match day programme yang meng-cover lebih dari 150 ribu
pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu membuatnya bisa
mengakses starting-line up ribuan pertandingan, siapa yang cetak gol, menit berapa
terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.
Jika anda menelusuri ocehan Paul
di twitter, beberapa hari lalu dia sempat merespons kicauan seseorang yang
berkicau tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons begini: "Saya punya
matchday programme antara St. Kitts & Nevis lawan Oldham Athletic pada 24
Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.
Bayangkanlah seorang tua
menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data pertandingan, tanpa
suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.
"Football means everything
to me. Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul kepada saya
melalui pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian penutup tulisan
ini.
Paul memiliki mimpi lain, mimpi
itu mungkin bisa saja terwujud di bulan Juli nanti. Mimpi itu adalah bertemu
tim idola: Liverpool.
Meskipun tinggal di London, Paul
amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di stadion-stadion elite di Inggris.
Di masa mudanya awayday adalah hal yang lazim saat ia mendukung tim lokal
Hendon Aways, sebuah klub kecil di London. Sayangnya di masa-masa itu ia tak
pernah sama sekali menyaksikan Liverpool berlaga secala langsung. Kendati
begitu, kekagumannya pada Liverpool tetap terjaga baik-baik dalam ingatan masa
mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.
Paul ingin sekali kembali ke
Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia Juli nanti. Ia tak
berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP sama seperti saat dirinya
bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes Sawor dll. menuai kejayaan Perseman
Manokwari di tahun 1985-1986.
Baginya duduk di kursi termurah
pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia sudah putus asa, pesimis mimpinya
tersebut tak akan terlaksana. "Keinginan pasti ada, tapi dengan kondisi
seperti ini, saya tak bisa. Tak punya uang. Saya nonton dari televisi
saja," lanjutnya sembari tersenyum, dengan bola mata yang agak membesar
memancarkan kejenakaan yang agak pahit.
Saat itu juga saya kembali
mengontak editor saya di Bandung. Lewat pesan pendek, saya ceritakan mimpi Paul
untuk menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor saya tak segera
membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor saya membalas:
"Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi ke GBK nonton
Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung nanti. Teknis kita
atur kemudian."
Belakangan saya tahu, kenapa
editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi dengan rekan kami
lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul menulis artikel secara
rutin untuk Pandit Football. Menilik kecenderungan Paul yang enggan merepotkan
orang lain, memintanya menulis artikel adalah pilihan yang sepertinya akan jadi
opsi yang terhormat untuknya.
Saya segera menyampaikan
permintaan editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan itu. Saya
katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya, tentang
taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic, atau esai-esai
lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang sepakbola. Apapun itu.
Setelah feature pertama tentang
Paul itu tayang di subkanal About the Game ini, saya menagih artikel pertama
yang ditulisnya. Dia minta maaf karena belum bisa menyelesaikan tulisan.
Katanya: "Maaf, saya sudah 5 malam tidak tidur gara-gara jaga play station.
Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe …."
Saya merasa bersalah dan
sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya sendiri jika harus menagih
artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di belakang permintaan
maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul mengatakan itu tidak
dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan bola mata bulat yang
memancarkan cahaya terang yang menandakan dia masih hidup, akan tetap hidup,
setidaknya mencoba sekuatnya terus bertahan hidup!
You’ll never walk alone, Paul!
(*)
*) diambil dari tulisan Aqwam Fiazmi Hanifan - detikSport Jumat, 14/06/2013 16:30 WIB
Posting Komentar