Berkaca pada Revolusi Sepakbola Jerman

0 komentar
Pembinaan usia dini sepakbola di Borrusia Dortmund menjadi salah satu keberhasilan sepakbola Jerman.
"Sepak bola itu permainan sederhana; 22 orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman menang."

Kutipan itu keluar dari striker Gary Lineker setelah Inggris kalah dari Jerman lewat adu penalti pada Piala Dunia 1990. Pada era 1980 sampai 1990-an, dunia mengenal sebagai kejayaan Jerman. Julukannya Der Panzer karena main seperti tank. Jerman juara Piala Dunia 1990, finalis 1982 dan 1986. Jerman juga juara Piala Eropa 1980 dan 1996 serta finalis 1992.

Kunci sukses Jerman ketika itu adalah staying power. Tipe permainan mengandalkan kekuatan, daya tahan, dan disiplin. Orang lebih menilai sebagai gaya robot yang monoton tapi efisien. Main tak perlu cantik, ujung-ujungnya menang. Persis seperti kata Lineker.

Dalam perkembangannya, banyak tim menemukan kelemahan Jerman dengan ciri khas spesialis turnamen. Pukulan pun menimpa Der Panzer pada Euro 2000 dengan hanya mendapat 1 poin di putaran grup. Kemudian disusul gagal pada final Piala Dunia 2002, dan hanya sampai putaran grup Euro 2004 di Portugal.

Rentetan kegagalan akhirnya membuat DFB (PSSI-nya Jerman) berpikir mengubah konstruksi total sepak bola Jerman. Kebutuhan memperkaya tipe serangan adalah keharusan. Sejak itu fokus pada stamina dan kekuatan pemain diubah ke taktik, teknik, dan elemen tertentu pada gaya main.

Upaya untuk bangkit pada 2004 itu menemukan nakhoda yang pas pada sosok Juergen Klinsmann dan asistennya Joachim Loew. Dua orang itu membangun cetak biru sepak bola Jerman dari yang paling dasar. "Kami mulai berani berlatih umpan pendek dari belakang mengalir ke depan secepat mungkin dalam sepak bola dinamis," kata Klinsmann.

Revolusi Klinsmann berbuah euforia besar pada Piala Dunia 2006 di kandang sendiri. Saat itu Michael Ballack dkk menembus semifinal. 500.000 orang berkumpul di Gerbang Brandenburg, Berlin, khusus memberi hormat pada kejayaan pasukan Klinsmann. Dua tahun kemudian, kemudi beralih ke Joachim Loew. Generasi Loew mampu menembus final Euro 2008 dan semifinal Piala Dunia 2010 dan Euro 2012. Dunia mengelu-elukan anak-anak muda puak Aria yang tak lagi tampil kaku, tapi kreatif, dinamis, dan menghibur.

***

Cetak biru kebangkitan sepak bola Jerman tidak melulu fokus mencari pemain tim nasional. Tidak ada pemain bagus kalau klubnya jelek. Klinsmann merancang strategi simultan antara timnas dengan liga (Bundesliga).

Langkah pertama dan paling krusial, pembibitan pemain. DFB membantu Klinsmann menekan semua klub kasta tertinggi, divisi I dan divisi II untuk membangun akademi pemain dengan standar tertentu. Satu dekade terakhir, sebanyak 700 juta Euro (Rp 10,3 triliun) dikucurkan untuk membangun fasilitas pengembangan pemain muda. Akhirnya, Dortmund melahirkan Mario Goetze, Marco Reus, dan Sven Bender. Bayern Munich menelurkan Jerome Boateng, Toni Kroos, dan Thomas Mueller. Bayer Leverkusen menghasilkan Lars Bender dan Andre Schuerrle, dan masih banyak lainnya.

Menemukan pemain bagus baru separuh jalan. Langkah berikutnya menentukan identitas dan filosofi bermain. Staying power sudah kuno maka itu perlu dicari gaya baru. Klisnmann dan DFB menggelar workshop dengan pelatih dan pemain di Jerman.

Mereka diminta menulis dan menggambar skema tentang tiga hal: Permainan apa yang diinginkan, cara bermain seperti apa yang mereka inginkan dilihat oleh dunia, dan cara bermain seperti apa yang diinginkan dilihat orang Jerman.

Bahan itu disusun menjadi skema latihan dan taktik baru. Lahirlah Jerman baru berupa permainan menyerang, cepat, dan proaktif. Kata terakhir maksudnya jangan bereaksi terhadap apa yang dilakukan lawan, tetapi bermain dengan cara sendiri.

Klinsmann lantas menyusun kurikulum, mempresentasikan hingga diterima Bundesliga dan DFB.

Langkah berikutnya di luar sisi permainan, DFB dan Bundesliga menekankan pentingnya manajemen klub dan kompetisi. Klub harus sehat, liga juga harus hidup, diminati fans dengan persaingan ketat.

Data musim 2012, 18 klub Bundesliga menghasilkan revenue 2 miliar Euro (Rp 29 Triliun), rekor tertinggi sepanjang sejarah. Klub dijalankan dengan kebijakan 50+1 di mana tidak boleh ada individu mengontrol kepemilikan klub. Kalaupun ada penegecualian, hanya untuk tiga klub yaitu Bayer Leverkusen (dimiliki Bayer), Wolfsburg (dimiliki VW), dan Hoffenheim (dimiliki pendiri SAP Dietmarr Hopp). Dalam aturan 'Lex Bayer' itu, perusahaan boleh memiliki klub selama punya kedekatan sejarah lebih dari 20 tahun sebelum Januari 1999.

Klub harus dimiliki suporter sebagai partisipan dibanding customer. Kepentingan komersial tak boleh menguasai klub. Audi dan Adidas misalnya, masing-masing hanya punya saham 9 persen di Bayern Munich.

Kedekatan klub dengan suporter (yang juga pemilik) menjadikan Bundesliga menjadi liga paling populer di dunia dengan rata-rata penonton di stadion 44.293 orang per laga musim 2012. Peringkat berikutnya, Liga Primer Inggris rata-rata ditonton 35.000 orang per laga. Penonton datang tak lain karena harga tiket paling murah di Eropa. Rata-rata tiket termurah Bundesliga per partai sekitar Rp 160.000. "Kami tidak pernah menganggap fans adalah sapi yang kudu diperah. Sepak bola harus untuk semua orang," kata Presiden Bayern Munich Uli Hoeness.

Revolusi klub berdampak pada prestasi. Klub-klub Jerman mulai menguasai Eropa. Finalis Liga Champions 2013 adalah dua tim Jerman, Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Bayern juga finalis satu tahun sebelumnya.

***

Kunci sukses revolusi sepak bola Jerman terletak pada cetak biru yang terencana. Butuh tujuh tahun sejak 2004 bagi Jerman untuk meraup panen dari bibit yang ditanam. Kata kuncinya adalah pembinaan pemain muda dan kesempatan bermain terbuka pada level kompetisi tertinggi. Jadi, keberhasilan bukan lahir tiba-tiba dengan cara instan seperti naturalisasi atau mengirim anak-anak muda latihan lama di luar negeri.

Kunci berikutnya adalah kemitraan dan perencanaan bersama antara semua stakeholder sepak bola, baik tim nasional, federasi sepak bola, administator liga, hingga klub peserta liga. Semua pihak mengikat diri dari cetak biru bermuara prestasi. Ingat, muaranya prestasi, bukan bermuara kepentingan. Kalau muara kepentingan sudah merasuki, entah bisnis atau politik, biasanya sepak bola bukan jadi permainan di lapangan hijau, tapi lebih ramai di luar lapangan. Saking ramainya gontok-gontokan di luar lapangan, bakal menular ke pemain di dalam lapangan.

Klub juga harus berbenah. Pengelola klub tak bisa bangga cuma karena penonton banyak. Utamakan infrastruktur dan pembibitan pemain. Jangan pernah menjadikan klub kendaraan demi kepentingan politik lokal.

Selanjutnya, kebijakan tim nasional dan liga harus seiring sejalan. Uji coba harus terencana, tidak bisa tiba-tiba tim nasional bermain lawan tiga klub Eropa. Pelatih tim nasional harus punya peta jalan, sesungguhnya mau dibawa ke mana tim yang diasuhnya.

Fundamental dari modal kebangkitan itu hanya satu: mau belajar dari keterpurukan.(*)


Penulis: Titis Widyatmoko dimuat dalam Kolom Olahraga merdeka.com, Jumat, 30 Agustus 2013

Mengenang Profesor Soetandyo Wignjosoebroto

0 komentar





Beliau telah wafat di RS Elizabeth, Semarang, pada pukul 07.10 WIB, Senin, 2 September 2013 pada usia 81 tahun. Saya sebagai mantan anak didiknya melihat Prof memang sulit tergantikan. Dia adalah benar-benar seorang GURU BESAR. Kesahajaan, cara mendidik mahasiswanya, pemikirannya, tingkah polahnya, rasa akan terus terkenang dan menjadi inspirasi sepanjang hayat. Selamat jalan Prof. Kami semua sangat kehilangan. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang indah di sana.

Kisah Prof Soetandyo, Hidup Sederhana,Tidak Berumah–Mobil

0 komentar

Banyak hal yang dapat dipetik dari hidup Prof Soetandyo Wignyosoebroto. Hidup sederhana, membesarkan anak untuk mengapai cita-cita, mengajar dan memberi ilmu hukum  tanpa mengenal usia, seraya memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan, dan supremasi hukum di Indonesia.

Meskipun usia sudah senja (77 tahun), Guru besar emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, seakan mematahkan pandangan orang tentang “orang sepuh” itu. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik, serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, hukum, terus bergulir.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 ini,  yang pensiun sejak 10 tahun silam, tak lantas “berhenti berpikir”. “Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir untuk istirahat di masa pensiun, guru besar sosiologi dan pakar administrasi pemerintahan ini malah disibukkan banyak kegiatan. Desember 2007, penulis sejumlah buku ini masih meluncurkan karya terbarunya, Hukum dalam Masyarakat.

Maret 2009 silam lalu, Pak Tandyo masih memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu hendak menyadarkan pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL itu digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban itu. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibanding perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Sebagai profesor emeritus, hingga kini Soetandyo masih mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Surabaya dan Universitas Diponegoro (Semarang), menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berdiskusi dengan berbagai kalangan, memberi ceramah di sejumlah kota. Bahkan ia masih aktif di Huma, lembaga nonpemerintah yang bergerak masalah hukum berbasis ekologi.

Profesor yang Tidak Memiliki Rumah

Saat ini, Pak Tandyo tinggal di kompleks dosen Universitas Airlanggar Surabaya. Entah berapa lama lagi Prof Soetandyo akan bertahan di rumah dinas yang sudah dia huni sejak tahun 1958. Pihak Universitas Airlangga sudah mengeluarkan surat edaran meminta para dosen pensiunan segera meninggalkan rumahnya.

Menurut Prof Sutandyo, sebenarnya penghuni berhak membeli rumah itu setelah 20 tahun menempati, tetapi ketika itu rektor meminta supaya tidak membeli karena dapat mengurangi lahan kampus. Kemudian dibuatlah  perjanjian bahwa rumah boleh dihuni istri sampai 1.000 hari setelah meninggalnya suami. “Tampaknya perjanjian itu telah dilupakan,” ujarnya.

Meski tak punya rumah pribadi, sebenarnya ia tidak keberatan meninggalkan rumah dinas itu. ”Saya bisa tinggal di paviliun rumah anak saya,” katanya, ringan. Namun, para penghuni yang lain meminta dia tinggal agar kekuatan perlawanan menolak surat edaran tidak berkurang.

Jalan Berbelok

Rumah itu meninggalkan kenangan yang nyaris sempurna; kehidupan berkeluarga yang penuh, sampai sang istri, Asminingsih, yang hidup bersamanya sejak tahun 1965, berpulang pada 8 Juni 2005. Selama sang istri sakit,  Pak Tandyo merawat dan mendampingi sang istri sepanjang perjuangannya melawan kanker. Rasa kehilangan itu masih tersirat cukup pekat sampai kini.

    ”Saya sekolah dengan beasiswa. Waktu anak kedua lahir, sempat jual kulkas.  Sekarang keadaan ekonomi sudah jauh lebih longgar, mestinya saya berbagi dengan istri. Dulu kami selalu pergi berdua,” ungkap Pak Tandyo.

Ia merasa menjadi guru adalah takdirnya setelah ayahnya mendorong dia berangkat ke Michigan, Amerika Serikat. Saat itu studinya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tinggal skripsi. Ternyata itulah jalan untuk belok. Dia tidak menjadi hakim, tetapi guru.

”Saya baru tahu setelah pengukuhan guru besar tahun 1987. Saya sowan ayah saya yang sedang sakit. Saat itu ayah memeluk saya dan menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, ’Aku dulu disuruh eyangmu jadi guru, tetapi tidak mau. Sekarang anak-anakku semua jadi guru’.”

Bersahaja dengan Bersepeda ( Tidak Memiliki Mobil)

Pak Tandyo dikenang banyak orang karena kebersahajaannya. Ketika menjadi anggota Komnas HAM, gajinya sejak tahun 1993 sampai 2002 adalah Rp 800.000 ditambah uang transpor Rp 1 juta sebulan. Untuk mengirit uang transpor antarkota, dari bandara dia naik bus, namun disambung jalan kaki ke kantor Komnas HAM.

Pola hidup sederhana dan sehat dilakukan oleh Prof Tandyo dengan mengayuh sepeda ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. “Saya nggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya kan sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” kata ayah tiga anak dan lima cucu ini.

Suatu hari Sabtu, ia berangkat ke kampus untuk menguji ujian akhir mahasiswa. Ketika selesai, sepedanya tak ada di tempat. Karena dicari tak ketemu, ia langsung pulang. ”Saya pikir, kalau sudah hilang, ya sudahlah.” Saat tidur siang, ia dibangunkan karena ada laki-laki muda mengantarkan sepedanya. ”Ia pikir sepeda itu milik cleaning service. Katanya, ia cuma pinjam sebentar.”

Menjelang magrib, ia kembali dikejutkan oleh antaran sepeda baru yang dibeli para mahasiswa atas usul sosiolog Dr Daniel Sparringa setelah mendengar kabar sepeda Pak Tandyo hilang. ”Sekarang saya punya dua sepeda he-he-he….”, ungkap pak Tua dengan penuh tawa.

Demokrasi di Keluarga

Salah satu rahasia “awet muda” (bersemangat) dari Pak Tandyo adalah kemauan untuk beradaptasi dengan kenyataan. “Kalau tidak, saya menjadi konservatif, menjadi orang tua yang tidak bisa menerima keadaan. Hidup ini harus selalu menyesuaikan. Ini kan termasuk dalam teori perubahan dan perkembangan. Hewan bisa survive kalau beradaptasi dengan lingkungan, begitu juga manusia, tidak hanya fisik, tapi juga kultural,” kata lelaki berdarah Sunda (ayah) dan Jawa (ibu) ini.

Sayangnya kemauan beradaptasi itu tak disadari banyak orang. Bagi anggota Dewan Juri Yap Thiam Hien Award (2002) ini, anak muda justru lebih adaptif. Sebaliknya orangtua malah minta diseragamkan. “Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan,” ujarnya.

Boleh jadi faktor-faktor itu ikut memengaruhi karut-marut realitas sosial dan politik di negeri ini. Dalam kacamata Soetandyo, karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga.

“Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Boediono), tapi ‘negaraku’ itu keluargaku,” kata peraih Master Public Administration di Michigan University, AS, tahun 1963 ini.

Karena itulah, Soetandyo mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, maka bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena narkoba.

“Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil maka akan bisa me-mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Tetapi memulai sekaligus mengubah segalanya sangatlah tidak mudah. Terlebih lagi para pemimpin sekarang ini, bukan saja mewarisi kondisi yang sudah telanjur dari sistem lama, tetapi juga terjebak dalam permainan paradigma lama. Tak ada cara lain kecuali mengubah paradigma itu. Menurut Soetandyo, paradigma baru itu harus melompat, mengambil strategi yang benar-benar baru. Karena, problem tidak bisa dipecahkan dengan ilmu yang menyebabkan terjadinya problem tersebut.

***************

Selama berbulan-bulan,  media massa baik cetak maupun elektronik terus memberitakan kasus Prita Mulyasari. Dukungan moral pun terus bergulir setelah Prita didakwa harus menganti denda rugi sebesar Rp 204 juta dalam persidangan perdata. Aksi “Koin untuk Prita” mengalir, dari anak hingga orang tua, baik pria maupun wanita, dari masyarakat kaya hingga masyarakat miskin turut berpartisipasi. Sejak kasus Prita mencuat, saya tulis sebuah artikel pada Juni 2009. Artikel tersebut berjudul Prita Mulyasari, Indonesia Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?.

Artikel tersebut saya tulis sebagai bentuk dukungan moral. Setelah itu, saya tidak begitu mengikuti kasus Prita lebih intens. Masih banyak kasus yang lebih kompleks dan mengharukan yang dialami oleh orang-orang yang kondisinya lebih buruk daripada Prita. Namun, kita menjadi lupa dan hanya fokus pada satu persoalan ini saja. Kita berteriak memberi dukungan untuk membela benar, namun disisi lain secara sengaja kita kita membuat kesalahan kecil yang menghianati kebenaran.  Ketika kita ikut-ikutan dalam “Koin untuk Prita”, disisi lain kita tidak begitu peduli dengan orang-orang disekitar kita yang mengalami ketidakadilan atau kesulitan hidup yang lebih buruk.

Ketika kita memberi dukungan kepada seorang sosok karena pemberitaan fenomenal dari media, disisi lain kita lupa bahwa ada orang-orang yang luar biasa, yang telah menyisihkan hidupnya untuk kemanusiaan dan kebenaran. Kita hanya berpikir tanpa memberi aksi nyata kepada Suster Apung yang berjuang menyeberang laut untuk suatu tugas mulia, ‘menyembuhkan yang sakit, menyelamatkan yang sekarat’. Ada begitu banyak orang yang mestinya kita beri apresiasi, namun kita terlupakan.

Dan salah satunya adalah Prof Tandyo yang telah berjuang dan menyisihkan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan masyarakat luas, untuk membela keadilan dan supremasi hukum Indonesia, yang terus menyemai ilmu bagi generasi muda Indoensia.

Salam Nusantaraku,
ech-wan, 20 Desember 2009

diambil dari: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/

Mengenal Fungsi Fisioterapis

0 komentar
By: Matias Ibo
 

Seorang fisioterapis di sebuah tim sepakbola sepertinya sering disimpulkan banyak orang sebagai pula tukang pijat alias masseur. Ini anggapan yang salah kaprah. Jadi, apa itu fisioterapis?

Bayangkan tiga percakapan nyata berikut ini:

(1) "Kena lagi nih hamstring-ku, gimana ya cara ngatasin-nya? Hmm, diurut saja deh!"

(2) Ada seorang atlet yang datang beberapa waktu lalu pada saya dan bertanya:

"Cak Mat, ini pergelangan tangan saya agak bengkok. Kira-kira diluruskan lagi bagaimana caranya, ya?" Dengan penuh perhatian saya memperhatikan tangannya, lalu berkata, "Mate, tangan ini kamu apain waktu patah?"

"Saya bawa ke tukang urut, Bos!" jawabnya polos.

(3) "Bang Mat, engkelku keseleo. Pijetin dong!"

(Salam hati saya berujar, "Susah-susah kuliah selama 6 tahun, tetap saja dipanggil tukang pijat.")

Bagi yang awam terhadap dunia per-cedera-an, terutama di olahraga, ketiga percakapan di atas tentu terdengar biasa saja. Memangnya apa yang salah dengan memijat pergelangan yang keseleo? Praktik yang lumrah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Demikian pula dengan menyamaratakan fisioterapi dengan tukang pijat. Suatu kewajaran yang acap dilakukan.

Tapi apa sebenarnya fisioterapis itu? Benarkah ia sama dengan seorang tukang pijat?

Fisioterapi atau physical therapist berasal dari dua kata, yaitu physic (fisik) dan therapy. Fisik adalah tubuh, sementara therapy adalah terapi atau perawatan. Kalau dijadikan satu, artinya perawatan tubuh atau fisik.

Di Indonesia, physiotherapist bisa dikatakan satu profesi baru. Tapi, di negara-negara barat, pekerjaan ini sudah jadi bagian dari keseharian masyarakat. Profesi ini bekerja secara independen di samping dokter, spesialis, dan paramedik yang lain, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Jadi, ia tak melulu mengurusi pasien dari bidang olahraga.

Sebagaimana dokter spesialis, setelah mendapat gelar BA (Bachelor of Arts) seorang fisioterapis pun menempuh jalur khusus lagi. Ada yang menjadi fisioterapis anak, fisioterapis olahraga, manual fisioterapis, fisioterapis syaraf, fisioterapis untuk RS, atau spesialisasi-spesialisasi lainnya. Nah, yang saya lakukan adalah fisioterapi olahraga.

Pekerjaan utama dari fisioterapis olahraga sendiri bermacam-macam. Mulai dari membuat program-program latihan untuk atlet yang cedera, membuat penilaian terhadap cedera-cedera yang terjadi, membuat program latihan spesifik yang sesuai dengan jenis olahraga, atau memberi nasehat mengenai makanan yang konsumsi.

Lebih spesifiknya lagi, dalam sebuah tim olahraga, seorang fisioterapis akan memberi masukan kepada pelatih mengenai situasi dan kondisi dari seorang pemain. Apakah pemain bersangkutan siap untuk bermain dalam sebuah pertandingan, apakah dia fit, dan berapa menit kira-kira waktu bermainnya. Di dalam tim, fisioterapis juga menyiapkan porsi latihan khusus dan terpisah untuk pemain yang cedera.

Tapi, satu hal yang penting diingat: pijat/urut/massage bukan merupakan bagian, atau tugas, dari seorang fisioterapis.

Urut tentu saja sangat penting buat seorang atlet, karena otot yang pegal dan capai harus dilemaskan lagi. Hanya saja, urut dilakukan terhadap pemain yang sedang tidak cedera. Urut pun dilakukan oleh seorang masseur yang juga memiliki sertifikat.

Apalagi, melakukan pijat terhadap olahragawan berbeda dengan melakukan pijat terhadap nonolahragawan. Perawatannya harus spesifik agar asam urat dan kepegalannya cepat hilang.

Meski demikian, fisioterapis dikenal sebagai tukang pijat bukannya tanpa alasan. Dulunya, sekitar 40 tahun yang lalu, sebelum dunia medis berkembang seperti saat ini, massage memang sempat dijadikan sebagai bentuk terapi. Hal ini berdasarkan fakta bahwa otot yang tegang harus dilemaskan. Caranya ya melalui pijat tadi.

Namun, dunia pengetahuan dan ilmu medis tentu sudah berubah dari 40 tahun lalu. Di masa modern ini, dilihat berbagai hasil penelitian yang ada, justru sudah diketahui bahwa massage dan cedera adalah bak kutub utara dan selatan: tidak boleh disatukan. Malah, pijat pada bagian yang cedera bisa memperlambat kesembuhan dan memperparah cedera. Hal ini lah yang jadi prinsip dasar yang harus diketahui seorang fisioterapis ketika menjalankan tugasnya.

Selain masalah pijat, prinsip lainnya yang penting diingat dalam dunia fisioterapi adalah: jenis terapi ditentukan oleh fisio-nya, dan bukan oleh pasien yang datang.

Memang, sering kali seorang pasien datang dan berkata, "Lututku sakit, nih. Aku maunya dikasih ultra sound, atau massage dan listrik itu lhoooo...."

NOOOOOOOO......

Jadi, tugas seorang fisioterapis untuk mengkaji sebuah cedera, melakukan tes-tes yang ada, dan menarik kesimpulan dari cedera yang dialami pemain. Barulah sebuah program latihan disusun dan diberikan. Pijat dan massage tidak diberikan karena itu merupakan tugas tukang pijat.

Sayang sekali, hal ini belum dipahami oleh banyak orang. Bahkan, di era sepakbola modern ini pernah terjadi peristiwa seorang tukang pijat mendapat promosi menjadi fisioterapis. That's simply unacceptable!

Jangan salah, saya senang bekerja sama dengan masseur. Mereka hebat dan menyenangkan. Hanya saja, tugas dan fungsinya berbeda. Sebagai ilustrasi, saya juga tak mencampuri urusan dokter dengan menyuntik seorang pasien. Walaupun bisa menyuntik, itu bukan tugas saya.

Jadi, sebagai kesimpulan, apakah fisioterapis itu? Fisioterapis adalah seseorang yang memberikan program latihan kepada seorang yang cedera. Fisioterapis juga membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang, dengan membantu meningkatkan performa fisiknya: dari cedera ke kondisi fisik yang bugar dan sehat lagi.

* Penulis adalah Sport Physiotherapist yang bekerja sama dengan Pandit Football Indonesia dalam pengembangan sport science di Indonesia. Sering dipercaya sebagai fisioterapis tim nasional Indonesia
Akun twitter: @MatiasIbo