Berkaca pada Revolusi Sepakbola Jerman

0 komentar
Pembinaan usia dini sepakbola di Borrusia Dortmund menjadi salah satu keberhasilan sepakbola Jerman.
"Sepak bola itu permainan sederhana; 22 orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman menang."

Kutipan itu keluar dari striker Gary Lineker setelah Inggris kalah dari Jerman lewat adu penalti pada Piala Dunia 1990. Pada era 1980 sampai 1990-an, dunia mengenal sebagai kejayaan Jerman. Julukannya Der Panzer karena main seperti tank. Jerman juara Piala Dunia 1990, finalis 1982 dan 1986. Jerman juga juara Piala Eropa 1980 dan 1996 serta finalis 1992.

Kunci sukses Jerman ketika itu adalah staying power. Tipe permainan mengandalkan kekuatan, daya tahan, dan disiplin. Orang lebih menilai sebagai gaya robot yang monoton tapi efisien. Main tak perlu cantik, ujung-ujungnya menang. Persis seperti kata Lineker.

Dalam perkembangannya, banyak tim menemukan kelemahan Jerman dengan ciri khas spesialis turnamen. Pukulan pun menimpa Der Panzer pada Euro 2000 dengan hanya mendapat 1 poin di putaran grup. Kemudian disusul gagal pada final Piala Dunia 2002, dan hanya sampai putaran grup Euro 2004 di Portugal.

Rentetan kegagalan akhirnya membuat DFB (PSSI-nya Jerman) berpikir mengubah konstruksi total sepak bola Jerman. Kebutuhan memperkaya tipe serangan adalah keharusan. Sejak itu fokus pada stamina dan kekuatan pemain diubah ke taktik, teknik, dan elemen tertentu pada gaya main.

Upaya untuk bangkit pada 2004 itu menemukan nakhoda yang pas pada sosok Juergen Klinsmann dan asistennya Joachim Loew. Dua orang itu membangun cetak biru sepak bola Jerman dari yang paling dasar. "Kami mulai berani berlatih umpan pendek dari belakang mengalir ke depan secepat mungkin dalam sepak bola dinamis," kata Klinsmann.

Revolusi Klinsmann berbuah euforia besar pada Piala Dunia 2006 di kandang sendiri. Saat itu Michael Ballack dkk menembus semifinal. 500.000 orang berkumpul di Gerbang Brandenburg, Berlin, khusus memberi hormat pada kejayaan pasukan Klinsmann. Dua tahun kemudian, kemudi beralih ke Joachim Loew. Generasi Loew mampu menembus final Euro 2008 dan semifinal Piala Dunia 2010 dan Euro 2012. Dunia mengelu-elukan anak-anak muda puak Aria yang tak lagi tampil kaku, tapi kreatif, dinamis, dan menghibur.

***

Cetak biru kebangkitan sepak bola Jerman tidak melulu fokus mencari pemain tim nasional. Tidak ada pemain bagus kalau klubnya jelek. Klinsmann merancang strategi simultan antara timnas dengan liga (Bundesliga).

Langkah pertama dan paling krusial, pembibitan pemain. DFB membantu Klinsmann menekan semua klub kasta tertinggi, divisi I dan divisi II untuk membangun akademi pemain dengan standar tertentu. Satu dekade terakhir, sebanyak 700 juta Euro (Rp 10,3 triliun) dikucurkan untuk membangun fasilitas pengembangan pemain muda. Akhirnya, Dortmund melahirkan Mario Goetze, Marco Reus, dan Sven Bender. Bayern Munich menelurkan Jerome Boateng, Toni Kroos, dan Thomas Mueller. Bayer Leverkusen menghasilkan Lars Bender dan Andre Schuerrle, dan masih banyak lainnya.

Menemukan pemain bagus baru separuh jalan. Langkah berikutnya menentukan identitas dan filosofi bermain. Staying power sudah kuno maka itu perlu dicari gaya baru. Klisnmann dan DFB menggelar workshop dengan pelatih dan pemain di Jerman.

Mereka diminta menulis dan menggambar skema tentang tiga hal: Permainan apa yang diinginkan, cara bermain seperti apa yang mereka inginkan dilihat oleh dunia, dan cara bermain seperti apa yang diinginkan dilihat orang Jerman.

Bahan itu disusun menjadi skema latihan dan taktik baru. Lahirlah Jerman baru berupa permainan menyerang, cepat, dan proaktif. Kata terakhir maksudnya jangan bereaksi terhadap apa yang dilakukan lawan, tetapi bermain dengan cara sendiri.

Klinsmann lantas menyusun kurikulum, mempresentasikan hingga diterima Bundesliga dan DFB.

Langkah berikutnya di luar sisi permainan, DFB dan Bundesliga menekankan pentingnya manajemen klub dan kompetisi. Klub harus sehat, liga juga harus hidup, diminati fans dengan persaingan ketat.

Data musim 2012, 18 klub Bundesliga menghasilkan revenue 2 miliar Euro (Rp 29 Triliun), rekor tertinggi sepanjang sejarah. Klub dijalankan dengan kebijakan 50+1 di mana tidak boleh ada individu mengontrol kepemilikan klub. Kalaupun ada penegecualian, hanya untuk tiga klub yaitu Bayer Leverkusen (dimiliki Bayer), Wolfsburg (dimiliki VW), dan Hoffenheim (dimiliki pendiri SAP Dietmarr Hopp). Dalam aturan 'Lex Bayer' itu, perusahaan boleh memiliki klub selama punya kedekatan sejarah lebih dari 20 tahun sebelum Januari 1999.

Klub harus dimiliki suporter sebagai partisipan dibanding customer. Kepentingan komersial tak boleh menguasai klub. Audi dan Adidas misalnya, masing-masing hanya punya saham 9 persen di Bayern Munich.

Kedekatan klub dengan suporter (yang juga pemilik) menjadikan Bundesliga menjadi liga paling populer di dunia dengan rata-rata penonton di stadion 44.293 orang per laga musim 2012. Peringkat berikutnya, Liga Primer Inggris rata-rata ditonton 35.000 orang per laga. Penonton datang tak lain karena harga tiket paling murah di Eropa. Rata-rata tiket termurah Bundesliga per partai sekitar Rp 160.000. "Kami tidak pernah menganggap fans adalah sapi yang kudu diperah. Sepak bola harus untuk semua orang," kata Presiden Bayern Munich Uli Hoeness.

Revolusi klub berdampak pada prestasi. Klub-klub Jerman mulai menguasai Eropa. Finalis Liga Champions 2013 adalah dua tim Jerman, Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Bayern juga finalis satu tahun sebelumnya.

***

Kunci sukses revolusi sepak bola Jerman terletak pada cetak biru yang terencana. Butuh tujuh tahun sejak 2004 bagi Jerman untuk meraup panen dari bibit yang ditanam. Kata kuncinya adalah pembinaan pemain muda dan kesempatan bermain terbuka pada level kompetisi tertinggi. Jadi, keberhasilan bukan lahir tiba-tiba dengan cara instan seperti naturalisasi atau mengirim anak-anak muda latihan lama di luar negeri.

Kunci berikutnya adalah kemitraan dan perencanaan bersama antara semua stakeholder sepak bola, baik tim nasional, federasi sepak bola, administator liga, hingga klub peserta liga. Semua pihak mengikat diri dari cetak biru bermuara prestasi. Ingat, muaranya prestasi, bukan bermuara kepentingan. Kalau muara kepentingan sudah merasuki, entah bisnis atau politik, biasanya sepak bola bukan jadi permainan di lapangan hijau, tapi lebih ramai di luar lapangan. Saking ramainya gontok-gontokan di luar lapangan, bakal menular ke pemain di dalam lapangan.

Klub juga harus berbenah. Pengelola klub tak bisa bangga cuma karena penonton banyak. Utamakan infrastruktur dan pembibitan pemain. Jangan pernah menjadikan klub kendaraan demi kepentingan politik lokal.

Selanjutnya, kebijakan tim nasional dan liga harus seiring sejalan. Uji coba harus terencana, tidak bisa tiba-tiba tim nasional bermain lawan tiga klub Eropa. Pelatih tim nasional harus punya peta jalan, sesungguhnya mau dibawa ke mana tim yang diasuhnya.

Fundamental dari modal kebangkitan itu hanya satu: mau belajar dari keterpurukan.(*)


Penulis: Titis Widyatmoko dimuat dalam Kolom Olahraga merdeka.com, Jumat, 30 Agustus 2013

Mengenang Profesor Soetandyo Wignjosoebroto

0 komentar





Beliau telah wafat di RS Elizabeth, Semarang, pada pukul 07.10 WIB, Senin, 2 September 2013 pada usia 81 tahun. Saya sebagai mantan anak didiknya melihat Prof memang sulit tergantikan. Dia adalah benar-benar seorang GURU BESAR. Kesahajaan, cara mendidik mahasiswanya, pemikirannya, tingkah polahnya, rasa akan terus terkenang dan menjadi inspirasi sepanjang hayat. Selamat jalan Prof. Kami semua sangat kehilangan. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang indah di sana.

Kisah Prof Soetandyo, Hidup Sederhana,Tidak Berumah–Mobil

0 komentar

Banyak hal yang dapat dipetik dari hidup Prof Soetandyo Wignyosoebroto. Hidup sederhana, membesarkan anak untuk mengapai cita-cita, mengajar dan memberi ilmu hukum  tanpa mengenal usia, seraya memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan, dan supremasi hukum di Indonesia.

Meskipun usia sudah senja (77 tahun), Guru besar emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, seakan mematahkan pandangan orang tentang “orang sepuh” itu. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik, serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, hukum, terus bergulir.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 ini,  yang pensiun sejak 10 tahun silam, tak lantas “berhenti berpikir”. “Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir untuk istirahat di masa pensiun, guru besar sosiologi dan pakar administrasi pemerintahan ini malah disibukkan banyak kegiatan. Desember 2007, penulis sejumlah buku ini masih meluncurkan karya terbarunya, Hukum dalam Masyarakat.

Maret 2009 silam lalu, Pak Tandyo masih memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu hendak menyadarkan pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL itu digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban itu. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibanding perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Sebagai profesor emeritus, hingga kini Soetandyo masih mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Surabaya dan Universitas Diponegoro (Semarang), menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berdiskusi dengan berbagai kalangan, memberi ceramah di sejumlah kota. Bahkan ia masih aktif di Huma, lembaga nonpemerintah yang bergerak masalah hukum berbasis ekologi.

Profesor yang Tidak Memiliki Rumah

Saat ini, Pak Tandyo tinggal di kompleks dosen Universitas Airlanggar Surabaya. Entah berapa lama lagi Prof Soetandyo akan bertahan di rumah dinas yang sudah dia huni sejak tahun 1958. Pihak Universitas Airlangga sudah mengeluarkan surat edaran meminta para dosen pensiunan segera meninggalkan rumahnya.

Menurut Prof Sutandyo, sebenarnya penghuni berhak membeli rumah itu setelah 20 tahun menempati, tetapi ketika itu rektor meminta supaya tidak membeli karena dapat mengurangi lahan kampus. Kemudian dibuatlah  perjanjian bahwa rumah boleh dihuni istri sampai 1.000 hari setelah meninggalnya suami. “Tampaknya perjanjian itu telah dilupakan,” ujarnya.

Meski tak punya rumah pribadi, sebenarnya ia tidak keberatan meninggalkan rumah dinas itu. ”Saya bisa tinggal di paviliun rumah anak saya,” katanya, ringan. Namun, para penghuni yang lain meminta dia tinggal agar kekuatan perlawanan menolak surat edaran tidak berkurang.

Jalan Berbelok

Rumah itu meninggalkan kenangan yang nyaris sempurna; kehidupan berkeluarga yang penuh, sampai sang istri, Asminingsih, yang hidup bersamanya sejak tahun 1965, berpulang pada 8 Juni 2005. Selama sang istri sakit,  Pak Tandyo merawat dan mendampingi sang istri sepanjang perjuangannya melawan kanker. Rasa kehilangan itu masih tersirat cukup pekat sampai kini.

    ”Saya sekolah dengan beasiswa. Waktu anak kedua lahir, sempat jual kulkas.  Sekarang keadaan ekonomi sudah jauh lebih longgar, mestinya saya berbagi dengan istri. Dulu kami selalu pergi berdua,” ungkap Pak Tandyo.

Ia merasa menjadi guru adalah takdirnya setelah ayahnya mendorong dia berangkat ke Michigan, Amerika Serikat. Saat itu studinya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tinggal skripsi. Ternyata itulah jalan untuk belok. Dia tidak menjadi hakim, tetapi guru.

”Saya baru tahu setelah pengukuhan guru besar tahun 1987. Saya sowan ayah saya yang sedang sakit. Saat itu ayah memeluk saya dan menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, ’Aku dulu disuruh eyangmu jadi guru, tetapi tidak mau. Sekarang anak-anakku semua jadi guru’.”

Bersahaja dengan Bersepeda ( Tidak Memiliki Mobil)

Pak Tandyo dikenang banyak orang karena kebersahajaannya. Ketika menjadi anggota Komnas HAM, gajinya sejak tahun 1993 sampai 2002 adalah Rp 800.000 ditambah uang transpor Rp 1 juta sebulan. Untuk mengirit uang transpor antarkota, dari bandara dia naik bus, namun disambung jalan kaki ke kantor Komnas HAM.

Pola hidup sederhana dan sehat dilakukan oleh Prof Tandyo dengan mengayuh sepeda ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. “Saya nggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya kan sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” kata ayah tiga anak dan lima cucu ini.

Suatu hari Sabtu, ia berangkat ke kampus untuk menguji ujian akhir mahasiswa. Ketika selesai, sepedanya tak ada di tempat. Karena dicari tak ketemu, ia langsung pulang. ”Saya pikir, kalau sudah hilang, ya sudahlah.” Saat tidur siang, ia dibangunkan karena ada laki-laki muda mengantarkan sepedanya. ”Ia pikir sepeda itu milik cleaning service. Katanya, ia cuma pinjam sebentar.”

Menjelang magrib, ia kembali dikejutkan oleh antaran sepeda baru yang dibeli para mahasiswa atas usul sosiolog Dr Daniel Sparringa setelah mendengar kabar sepeda Pak Tandyo hilang. ”Sekarang saya punya dua sepeda he-he-he….”, ungkap pak Tua dengan penuh tawa.

Demokrasi di Keluarga

Salah satu rahasia “awet muda” (bersemangat) dari Pak Tandyo adalah kemauan untuk beradaptasi dengan kenyataan. “Kalau tidak, saya menjadi konservatif, menjadi orang tua yang tidak bisa menerima keadaan. Hidup ini harus selalu menyesuaikan. Ini kan termasuk dalam teori perubahan dan perkembangan. Hewan bisa survive kalau beradaptasi dengan lingkungan, begitu juga manusia, tidak hanya fisik, tapi juga kultural,” kata lelaki berdarah Sunda (ayah) dan Jawa (ibu) ini.

Sayangnya kemauan beradaptasi itu tak disadari banyak orang. Bagi anggota Dewan Juri Yap Thiam Hien Award (2002) ini, anak muda justru lebih adaptif. Sebaliknya orangtua malah minta diseragamkan. “Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan,” ujarnya.

Boleh jadi faktor-faktor itu ikut memengaruhi karut-marut realitas sosial dan politik di negeri ini. Dalam kacamata Soetandyo, karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga.

“Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Boediono), tapi ‘negaraku’ itu keluargaku,” kata peraih Master Public Administration di Michigan University, AS, tahun 1963 ini.

Karena itulah, Soetandyo mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, maka bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena narkoba.

“Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil maka akan bisa me-mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Tetapi memulai sekaligus mengubah segalanya sangatlah tidak mudah. Terlebih lagi para pemimpin sekarang ini, bukan saja mewarisi kondisi yang sudah telanjur dari sistem lama, tetapi juga terjebak dalam permainan paradigma lama. Tak ada cara lain kecuali mengubah paradigma itu. Menurut Soetandyo, paradigma baru itu harus melompat, mengambil strategi yang benar-benar baru. Karena, problem tidak bisa dipecahkan dengan ilmu yang menyebabkan terjadinya problem tersebut.

***************

Selama berbulan-bulan,  media massa baik cetak maupun elektronik terus memberitakan kasus Prita Mulyasari. Dukungan moral pun terus bergulir setelah Prita didakwa harus menganti denda rugi sebesar Rp 204 juta dalam persidangan perdata. Aksi “Koin untuk Prita” mengalir, dari anak hingga orang tua, baik pria maupun wanita, dari masyarakat kaya hingga masyarakat miskin turut berpartisipasi. Sejak kasus Prita mencuat, saya tulis sebuah artikel pada Juni 2009. Artikel tersebut berjudul Prita Mulyasari, Indonesia Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?.

Artikel tersebut saya tulis sebagai bentuk dukungan moral. Setelah itu, saya tidak begitu mengikuti kasus Prita lebih intens. Masih banyak kasus yang lebih kompleks dan mengharukan yang dialami oleh orang-orang yang kondisinya lebih buruk daripada Prita. Namun, kita menjadi lupa dan hanya fokus pada satu persoalan ini saja. Kita berteriak memberi dukungan untuk membela benar, namun disisi lain secara sengaja kita kita membuat kesalahan kecil yang menghianati kebenaran.  Ketika kita ikut-ikutan dalam “Koin untuk Prita”, disisi lain kita tidak begitu peduli dengan orang-orang disekitar kita yang mengalami ketidakadilan atau kesulitan hidup yang lebih buruk.

Ketika kita memberi dukungan kepada seorang sosok karena pemberitaan fenomenal dari media, disisi lain kita lupa bahwa ada orang-orang yang luar biasa, yang telah menyisihkan hidupnya untuk kemanusiaan dan kebenaran. Kita hanya berpikir tanpa memberi aksi nyata kepada Suster Apung yang berjuang menyeberang laut untuk suatu tugas mulia, ‘menyembuhkan yang sakit, menyelamatkan yang sekarat’. Ada begitu banyak orang yang mestinya kita beri apresiasi, namun kita terlupakan.

Dan salah satunya adalah Prof Tandyo yang telah berjuang dan menyisihkan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan masyarakat luas, untuk membela keadilan dan supremasi hukum Indonesia, yang terus menyemai ilmu bagi generasi muda Indoensia.

Salam Nusantaraku,
ech-wan, 20 Desember 2009

diambil dari: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/

Mengenal Fungsi Fisioterapis

0 komentar
By: Matias Ibo
 

Seorang fisioterapis di sebuah tim sepakbola sepertinya sering disimpulkan banyak orang sebagai pula tukang pijat alias masseur. Ini anggapan yang salah kaprah. Jadi, apa itu fisioterapis?

Bayangkan tiga percakapan nyata berikut ini:

(1) "Kena lagi nih hamstring-ku, gimana ya cara ngatasin-nya? Hmm, diurut saja deh!"

(2) Ada seorang atlet yang datang beberapa waktu lalu pada saya dan bertanya:

"Cak Mat, ini pergelangan tangan saya agak bengkok. Kira-kira diluruskan lagi bagaimana caranya, ya?" Dengan penuh perhatian saya memperhatikan tangannya, lalu berkata, "Mate, tangan ini kamu apain waktu patah?"

"Saya bawa ke tukang urut, Bos!" jawabnya polos.

(3) "Bang Mat, engkelku keseleo. Pijetin dong!"

(Salam hati saya berujar, "Susah-susah kuliah selama 6 tahun, tetap saja dipanggil tukang pijat.")

Bagi yang awam terhadap dunia per-cedera-an, terutama di olahraga, ketiga percakapan di atas tentu terdengar biasa saja. Memangnya apa yang salah dengan memijat pergelangan yang keseleo? Praktik yang lumrah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Demikian pula dengan menyamaratakan fisioterapi dengan tukang pijat. Suatu kewajaran yang acap dilakukan.

Tapi apa sebenarnya fisioterapis itu? Benarkah ia sama dengan seorang tukang pijat?

Fisioterapi atau physical therapist berasal dari dua kata, yaitu physic (fisik) dan therapy. Fisik adalah tubuh, sementara therapy adalah terapi atau perawatan. Kalau dijadikan satu, artinya perawatan tubuh atau fisik.

Di Indonesia, physiotherapist bisa dikatakan satu profesi baru. Tapi, di negara-negara barat, pekerjaan ini sudah jadi bagian dari keseharian masyarakat. Profesi ini bekerja secara independen di samping dokter, spesialis, dan paramedik yang lain, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Jadi, ia tak melulu mengurusi pasien dari bidang olahraga.

Sebagaimana dokter spesialis, setelah mendapat gelar BA (Bachelor of Arts) seorang fisioterapis pun menempuh jalur khusus lagi. Ada yang menjadi fisioterapis anak, fisioterapis olahraga, manual fisioterapis, fisioterapis syaraf, fisioterapis untuk RS, atau spesialisasi-spesialisasi lainnya. Nah, yang saya lakukan adalah fisioterapi olahraga.

Pekerjaan utama dari fisioterapis olahraga sendiri bermacam-macam. Mulai dari membuat program-program latihan untuk atlet yang cedera, membuat penilaian terhadap cedera-cedera yang terjadi, membuat program latihan spesifik yang sesuai dengan jenis olahraga, atau memberi nasehat mengenai makanan yang konsumsi.

Lebih spesifiknya lagi, dalam sebuah tim olahraga, seorang fisioterapis akan memberi masukan kepada pelatih mengenai situasi dan kondisi dari seorang pemain. Apakah pemain bersangkutan siap untuk bermain dalam sebuah pertandingan, apakah dia fit, dan berapa menit kira-kira waktu bermainnya. Di dalam tim, fisioterapis juga menyiapkan porsi latihan khusus dan terpisah untuk pemain yang cedera.

Tapi, satu hal yang penting diingat: pijat/urut/massage bukan merupakan bagian, atau tugas, dari seorang fisioterapis.

Urut tentu saja sangat penting buat seorang atlet, karena otot yang pegal dan capai harus dilemaskan lagi. Hanya saja, urut dilakukan terhadap pemain yang sedang tidak cedera. Urut pun dilakukan oleh seorang masseur yang juga memiliki sertifikat.

Apalagi, melakukan pijat terhadap olahragawan berbeda dengan melakukan pijat terhadap nonolahragawan. Perawatannya harus spesifik agar asam urat dan kepegalannya cepat hilang.

Meski demikian, fisioterapis dikenal sebagai tukang pijat bukannya tanpa alasan. Dulunya, sekitar 40 tahun yang lalu, sebelum dunia medis berkembang seperti saat ini, massage memang sempat dijadikan sebagai bentuk terapi. Hal ini berdasarkan fakta bahwa otot yang tegang harus dilemaskan. Caranya ya melalui pijat tadi.

Namun, dunia pengetahuan dan ilmu medis tentu sudah berubah dari 40 tahun lalu. Di masa modern ini, dilihat berbagai hasil penelitian yang ada, justru sudah diketahui bahwa massage dan cedera adalah bak kutub utara dan selatan: tidak boleh disatukan. Malah, pijat pada bagian yang cedera bisa memperlambat kesembuhan dan memperparah cedera. Hal ini lah yang jadi prinsip dasar yang harus diketahui seorang fisioterapis ketika menjalankan tugasnya.

Selain masalah pijat, prinsip lainnya yang penting diingat dalam dunia fisioterapi adalah: jenis terapi ditentukan oleh fisio-nya, dan bukan oleh pasien yang datang.

Memang, sering kali seorang pasien datang dan berkata, "Lututku sakit, nih. Aku maunya dikasih ultra sound, atau massage dan listrik itu lhoooo...."

NOOOOOOOO......

Jadi, tugas seorang fisioterapis untuk mengkaji sebuah cedera, melakukan tes-tes yang ada, dan menarik kesimpulan dari cedera yang dialami pemain. Barulah sebuah program latihan disusun dan diberikan. Pijat dan massage tidak diberikan karena itu merupakan tugas tukang pijat.

Sayang sekali, hal ini belum dipahami oleh banyak orang. Bahkan, di era sepakbola modern ini pernah terjadi peristiwa seorang tukang pijat mendapat promosi menjadi fisioterapis. That's simply unacceptable!

Jangan salah, saya senang bekerja sama dengan masseur. Mereka hebat dan menyenangkan. Hanya saja, tugas dan fungsinya berbeda. Sebagai ilustrasi, saya juga tak mencampuri urusan dokter dengan menyuntik seorang pasien. Walaupun bisa menyuntik, itu bukan tugas saya.

Jadi, sebagai kesimpulan, apakah fisioterapis itu? Fisioterapis adalah seseorang yang memberikan program latihan kepada seorang yang cedera. Fisioterapis juga membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang, dengan membantu meningkatkan performa fisiknya: dari cedera ke kondisi fisik yang bugar dan sehat lagi.

* Penulis adalah Sport Physiotherapist yang bekerja sama dengan Pandit Football Indonesia dalam pengembangan sport science di Indonesia. Sering dipercaya sebagai fisioterapis tim nasional Indonesia
Akun twitter: @MatiasIbo



Matahari Terbit di Bundesliga

0 komentar

Atsuto Uchida saat beraksi memperkuat Schalke

Bundesliga Jerman memberi banyak kesempatan pada para pemain Jepang untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemain berkualitas. Sudah lama memang sepakbola Jerman "menampung" para pemain Asia, tapi belakangan Jepang yang terlihat paling menonjol.

Kedua negara ini belakangan memang menjadi dua kekuatan ekonomi yang menonjol. Di Asia, Jepang sudah lama menjadi kekuatan yang berpengaruh secara ekonomi. Hal sama juga terjadi di Jerman. Saat krisis ekonomi melanda Eropa pada 2008, dan buntutnya masih terasakan sampai sekarang, Jerman relatif yang paling cepat mampu memulihkan dirinya.

Jika J-League, kompetisi di Jepang, menjadi salah satu yang paling sehat di Asia, hal sama juga terjadi di Bundesliga. Belakangan ini Bundesliga malah jadi bahan pembicaraan, bukan semata karena prestasi klub-klubnya, tapi juga kekuatan finansial, juga rasionalitas klub-klubnya dalam mengelola neraca keuangan.

Etos kerja, disiplin, dan kebanggaan terhadap kemampuan sendiri jadi ciri menonjol dua bangsa ini.

Di Jepang, ada istilah ganbaru, istilah yang bisa menggambarkan bagaimana kultur Jepang terbiasa memaksa setiap orang untuk mengeluarkan semua kemampuannya sampai batas yang terjauh. "Der Sieg is Alles [Kemenangan adalah segala-galanya]," begitu ucap orang Jerman, yang mencerminkan dengan benderang semangat untuk selalu unggul dalam bidang apa pun. Kerap kali itu dimengerti sebagai kesombongan atau kebanggaan yang berlebihan, tapi begitulah memang kesan yang sering terlihat jika berbicara dan mengenal orang Jerman.

Jerman dan Jepang memang memiliki kesepahaman soal arti kata rajin, disiplin, teroganisir, dan efisien. Tanpa nilai-nilai itu semua, Volkswagen, Mercedez Benz, Honda, dan Toyota tak akan menguasai pasar otomotif dunia. Tanpa itu juga, Jerman dan Jepang tak akan menguasai Eropa dan Asia dalam soal urusan sepakbola.

Kanselir sepakbola di Eropa bukan Italia, Spanyol, Prancis atau Inggris, melainkan Jerman. Jerman sudah 3 kali menggondol Piala Dunia dan 3 kali pula membawa pulang gelara juara Piala Eropa. Kombinasi dua catatan di Piala Dunia dan Piala Eropa itu belum mampu mampu dipecahkan negara Eropa lainnya.

Di Asia, kini Jepang juga menjadi raja. Raja berusia muda yang angkuh duduk di tampuk tertinggi. Pasca revolusi sepakbola yang dilakukan di akhir 1980-an, belum sampai 30 tahun, Jepang kini menikmati statusnya sebagai kaisar sepakbola di Asia. Sejak tahun 1992, raihan 4 kali juara Piala Asia, plus selalu lolos ke Piala Dunia 5 kali berturut-turut sejak 1998, membuat Jepang lebih baik ketimbang tetangganya Korea Selatan, Iran atau Arab Saudi.

Faktor Sejarah Hubungan Jerman-Jepang
Beberapa persinggungan dalam sejarah kedua negara, juga etos kerja yang sama-sama tinggi di antara dua kebudayaan itu, membuat fenomena pemain Jepang di Bundesliga akhirnya terlihat wajar dan bisa dipahami.

Jepang dan Jerman adalah dua raksasa yang pernah jadi simbol kekuatan poros barat dan timur. Keduanya memang sudah saling mengenal cukup lama, sejak pertengahan abad 18, saat Jepang masih dipimpin Shogun Takagawa dan negeri Jerman masih berada di bawah panji-panji Prussia.

Hubungan itu kian mesra saat Adolf Hitler menjadi Der Fuhrer yang memimpin Jerman Raya. Heinrich Himmler, tangan kanan Hitler, bahkan pernah menyebut bangsa Jepang sebagai etnis berbeda yang merupakan keturunan para dewa, sejalan dengan ras Arya yang dibanggakan sebagai ras terunggul di Eropa.

Hitler pun sepaham dengan Himmler. Dalam "kitab suci" Partai Nazi, Mein Kampf [Perjuanganku], Hiter begitu sering mengungkapkan rasa hormat dan kekagumannya terhadap orang Jepang ketimbang bangsa-bangsa Eropa tetanggnya. Di era Hitler itu, orang Jepang yang tinggal di Jerman  bahkan dianugerahi gelar kehormatan ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.

Status kehormatan ini umumnya diberikan kepada darah non-Arya namun sangat berjasa bagi partai dan Jerman. Tetapi Jepang mendapatkan pengecualian. Kehormatan itu bukan hanya diberikan pada orang Jepang yang berjasa, tapi pada semua orang Jepang tanpa kecuali.

Memang benar bahwa Jerman dan Jepang di masa itu menjalin kerjasama politik, militer dan ideologi. Bersama Italia, dua negara ini menjadi poros terpenting dalam Perang Dunia II yang sanggup menjadi lawan sepadan negara-negara adidaya seperti Amerika, Uni Soviet, Inggris, dan Prancis. Tapi penghormatan Jerman kepada Jepang itu juga dipicu oleh kekaguman dan rasa hormat Hitler pada bangsa Jepang yang dianggapnya memeram ciri-ciri ras yang unggul.

Yasuhiko Okudera sebagai Tapal

Yasuhiko Okudera saat bergabung dengan FC Koeln

Jerman memang banyak membantu perkembangan sepakbola Jepang. Sebelum Olimpiade Tokyo pada tahun 1964, timnas Jepang melakukan kunjungan ke Duisburg. Hampir sama dengan yang dilakukan PSSI ketika mengirim timnas ke Bremen.

Perbedaanya, bangsa yang dikenal visioner itu jalan-jalan ke Jerman tak sebatas bertanding bola seperti PSSI.  Jepang belajar dasar-dasar dari sistem olahraga sepakbola, khususnya untuk mempelajari bentuk dasar kompetisi dan pembinaan usia muda. Dalam perjalanan itu, Jepang menemukan inspirasi yang mereka perlukan untuk liga mereka sendiri yang saat itu masih amatiran. Inilah "restorasi meiji" di bidang sepakbola.

13 Tahun kemudian, sejarah pemain Asia di Bundesliga dimulai pada tahun 1977 saat pemain tengah Yasuhiko Okudera bergabung dengan FC Koeln. Oku yang bermain di klub amatir Furukawa Electric dikenalkan oleh manajer timnas Jepang, Hiroshi Nimomuya, kepada pelatih Koeln, Hennes Weisweiler.

Keputusan untuk berangkat ke Jerman tidak mudah diambil Oku. Dia sebenarnya takut kepergiannya ke Jerman akan berimbas kehilangan posisinya di perusahaan Furukawa Electric Ltd. Setelah dirayu oleh otoritas sepakbola Jepang dan jaminan bahwa ia dapat pekerjaan yang sama di perusahaan sekembalinya nanti, Oku pun akhirnya berangkat.

Selama empat tahun memperkuat Koeln [1977-1981], Oku menjadi legenda bagi klub. Ia adalah pemain tengah yang disegani kawan atau lawan. Golnya ke gawang Nottingham Forest di semifinal Liga Champions tahun 1979 jadi gol pertama yang dicetak orang Asia di ajang tertinggi sepakbola antar klub Eropa itu. Semua catatan yang diukirnya itu sedikit banyak ikut mempengaruhi stereotipe masyarakat Eropa terhadap pesepakbola Asia.

Sejak itu, Oku terus berkiprah di Jerman. Selain Koeln, dia juga sempat beredar di Herta Berlin dan Werder Bremen. Di Bremen, selama lima musim, ia menjadi bagian inti dari generasi emas Die Werderaner.

Pada tahun 1986, Oku pulang dari perantauan panjangnya dan kembali ke Jepang untuk bergabung dengan mantan klubnya, Furukawa Electric. Kehadirannya sebagai pemain pertama yang pernah mencicipi kompetisi professional menjadi kuda pacu bagi otoritas sepakbola Jepang untuk segera memulai profesionalisasi kompetisi di Jepang.

Etos Kerja Pemain Jepang di Bundesliga
Beberapa dekade setelah kedatangan Oku, "invasi" pemain Jepang ke Jerman pun jadi fenomena penting dalam perkembangan sepakbola Eropa. Media Jerman menyebutnya sebagai fenomena: "Die Nippon Connection".

Kesuksesan Shinji Kagawa bersama Dormund menjadi pemicu berdatangannya para pemandu bakat ke J-Leaque. "Biaya transfer dan gaji pemain muda yang sering relatif murah membuat Jepang lebih menarik bagi klub Jerman," ucap Takehiko Nakamura, General Manager agensi pemain Lead Off Sports Marketing kepada Associated Press.
Saat mendatangkan Kagawa, Dortmund hanya merogoh kocek 350 ribu Euro. Saat dilego ke Manchester United, Kagawa membuat Dortmund mendapat keuntungan 15 Juta Euro. Keberuntungan Dormund itu yang kini dicoba klub-klub lain di Jerman.

Pierre Littbarski, mantan pemain timnas Jerman dan pernah jadi pelatih Wolsburg, lagi-lagi mengungkapkan persepsi tentang bangsa Jepang yang telah lama berkembang di Jerman. Dia memuji memuji pemain Jepang yang tak banyak omong besar saat diwawancara wartawan. Littbarski menyebut, pemain Jepang lebih suka bekerja keras untuk membuktikan semuanya di atas lapangan.

"Orang Jepang adalah pekerja keras dan berorientasi pada target yang jelas," kata Guido Buchwald. Mantan pemain belakang Jerman itu melanjutkan bahwa para pemain muda Jepang yang tiba di Jerman hanya memiliki satu tujuan: untuk menjadi sukses. Buchwald, yang kini menjadi Direktur Sepakbola di Stuttgarter Kickers, juga menekankan bagaimana para pemain muda Jepang tidak seperti pemain muda yang tiba dari Amerika Selatan yang kerap membuat masalah.

Dalam soal taktik, mereka juga amat mudah dan terbuka untuk dikelola dan sering dapat bermain di berbagai posisi hingga memudahkan pelatih dalam merotasi pemain atau mengubah taktik permainan. "Orang Jepang memiliki kecepatan, teknik, disiplin, serta bermain layaknya pekerja keras dan taat terhadap tim, kelebihan itu membuat mereka selalu fokus bekerja untuk tim," puji Felix Magath yang pernah melatih Atsuto Uchida di Schalke dan Makoto Hasebe di Wolfsburg.

Di musim 2012/2013 tercatat 11 pemain berkenegaraan Jepang bermain di Bundesliga. Itu angka terbesar pemain dari negara Asia yang bermain di sebuah liga Eropa. Dari 28 orang anggota skuat timnas  yang berlaga di Piala Konfederasi kemarin, sembilan di antaranya berkiprah di Bundesliga.

Fans Schalke yakin bahwa full-back kanan, Atsuto Uchida, lebih baik ketimbang Phillip Lahm. Tergesernya Lahm dari skuad dream team Bundesliga musim lalu oleh Uchida seakan menegaskan keyakinan itu. Musim lalu memang jadi puncak karir Uchida. Dia bermain 24 kali untuk Schalke dan jadi instrumen penting yang membuat klub itu mengakhiri kompetisi di peringkat empat.

Belum lagi jika menilik catatan Hiroshi Kiyotake. Pemain yang mungkin akan jadi suksesor Kagawa sebagai bintang Jepang di pentas Bundesliga ini bukan hanya menyumbangkan 4 gol bagi FC Nurenberg, tapi dengan gemilang mencatatkan 11 assist. Inilah yang membuat Paul Lambert, manajer Aston Villa, tak henti-hentinya menggoda Nurenberg untuk melepas Hiro dengan tawaran transfer 10 Juta Euro.

Mengirim Pemandu Bakat, Bukan Direktur Pemasaran

Banjirnya pemain Jepang ke Bundesliga tentu meningkatkan profil Bundesliga di Jepang. Dengan mata sayup-sayup orang Jepang kini rela bangun tengah malam untuk menonton Bundesliga guna melihat saudara-saudara Jepang mereka berlaga. Pemberitaan Bundesliga selalu jadi sajian utama, terlebih berita soal pemain Jepang.

Ini pasar yang tentu saja tak luput dari pengamatan orang Jerman. Jangan heran jika pengelola Bundesliga membuat kanal khusus di situs resmi mereka yang tampil dalam bahasa dan huruf Jepang.

Stefan Bienkowsk, seorang kolumnis pengamat Bundesliga, meyakini bahwa Bundesliga masih akan mengandalkan pemain Jepang di masa-masa mendatang. Bundesliga seperti jadi antinomi bagi sepakbola Eropa. Di hadapan pasar sepakbola Asia, mereka datang bukan hanya menjual tetapi juga membeli. Asia yang dulunya dilihat sebagai peluang pemasaran kini berubah dilihat sebagai sumber bakat sepakbola.

Sayangnya hal itu belum berlaku untuk Asia Tenggara, apalagi Indonesia. Klub-klub luar datang ke mari dengan mengirimkan direktur pemasaran ketimbang para pencari bakat.


*) dari Tulisan Aqwam Fiazmi Hanifan di detikSport
Kamis, 22/08/2013 09:39 WIB

Doa Jenderal Douglas MacArthur

0 komentar

Tuhanku, bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan. Manusia yang bangga dan tabah saat dalam kekalahan, tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan. Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita -citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya. Seorang putra yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.

With a Piece of Chalk

0 komentar
Kisah seorang anak bernama Justen yang dianggap pecundang oleh kawan-kawannya. Ia mampu melewatinya dengan menemukan cara untuk merubah dirinya menjadi anak yang cerdas tanpa sepengetahuan mereka.

Hikayat Paul Cumming

0 komentar

Rumahnya agak menjorok ke dalam Dusun Drigu, Desa Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasi rumahnya terpencil dari peradaban manusia lainnya. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara hiruk pikuk manusia dan lalu lalang kendaraan bermotor. Tetapi semua itu tenggelam dalam orkestra kodok dan jangkrik yang lebih kentara terdengar di luar.

Rumah sederhana itu sekelilingnya dipenuhi kebun yang rimbun: kebun apel, cabai, tomat, dan sayur-sayuran yang dipagari kawat dan kayu. Hanya ada satu jalan untuk mencapai rumah itu, melewati jalan tanah coklat setapak yang jarang diinjak manusia.


Bagi beberapa orang tempat ini membosankan, apalagi kalau malam. Di luar nyaris gelap gulita tak ada kerlap-kerlip lampu-lampu bohlam tetangga. Tapi jangan kaget bukan main alangkah indahnya suasana alam di pagi hari. Tepat di depan rumah, dengan sombong Gunung Semeru kokoh tegak menantang.

Desa Poncokusumo memang daerah dingin di lereng Gunung Semeru, 30 km dari Kota Malang. Udara bersih dan sejuk didapat secara gratis sepuasnya. Sesuatu hal yang langka bagi orang kota.


Beruntunglah Paul Cumming dapat menghabiskan massa tuanya di tempat itu. Tapi benarkah dia beruntung?


Ada yang masih ingat dengan Paul Cumming? Seseorang yang menjadi idola suporter klub Galatama asal Jakarta, yaitu Indonesia Muda di tahun 1981 hingga 1983. Beberapa mengenangnya sebagai sosok pelatih asing kontroversial yang amat dicintai masyarakat Papua, namun dibenci suporter bola asal Jawa di pertengahan dekade 80an.


Permainan keras yang menjadi ciri khas Perseman Manokwari kala itu membuat anak asuh Paul dicaci habis-habisan baik oleh pengamat, media maupun penggila bola. Bergeming, Paul tetap melanggeng dengan polanya yang terkenal keras -- PSMS Medan pun bukan tandingannya.


Benar saja, usai menjadi juara Divisi I tahun 1983, Perseman menjadi kuda hitam baru di kompetisi perserikatan dengan menjadi tim terbaik nomor empat di tahun 1985, serta runner-up 1986 sebelum ditaklukan Persib Bandung 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman di partai Grand Final.


Paul adalah pula legenda bagi masyarakat Bandar Lampung. Namanya melegenda tapi dia bukan tokoh fiksi. Paul adalah manusia nyata. Kesuksesannya menangani klub Papua membuat ia ditarik mantan Gubernur Lampung, Poedjono Pranoto, untuk membesut PSBL Bandar Lampung. Sepakbola Lampung pun menuai kejayaan. Setelah selalu berkutat di Divisi II, Paul bisa membawa PSBL promosi ke Divisi I dan Divisi Utama. Pekerjaan yang tak mudah tentunya.


Usai dipensiunkan secara paksa dari PSBL akibat keuangan klub yang defisit, Paul terpaksa menganggur. Beruntung kemudian Perseman mengontaknya kembali. Sampai tahun 2011, Paul kembali menetap di Papua sembari sempat melatih tim PON Papua Barat dan Persiwon Wondama.


***

Di Indonesia, Paul adalah orang kedua yang dinaturalisasi akibat urusan sepakbola. Orang asing pertama yang menjadi WNI gara-gara sepakbola adalah Toni Pogacnik, eks Pelatih Timnas tahun 1950an. Dan orang kedua itu adalah Paul Cumming, seorang Londoners yang teramat cinta kepada Negeri Zamrud Khatulistiwa.


Di masa itu sangat langka pesepakbola atau pelatih asing yang ingin berganti kewarganegaraan menjadi WNI. Paul termasuk orang langka itu. Prosesnya tidak mudah dan berbelit-belit. Selain memakan waktu lama, besarnya kontribusi terhadap sepakbola Indonesia pun menjadi kewajiban utama lainnya bagi siapa pun yang ingin jadi WNI.


Proses Paul menjadi WNI tidaklah semudah yang diterima Sergio Van Dijk, Kim Jefrey Kurniawan atau pemain asing naturalisasi lainnya. Setelah menunggu waktu 19 tahun, pasca kedatangannya pertama kali ke Indonesia tahun 1980, akhirnya pada 10 November 1999, Pengadilan Negeri Bandar Lampung mengetok sah dirinya sebagai WNI. Beruntung nasib Paul tak setragis sang pendahulu Toni Pogacnik yang keburu meninggal sebelum dirinya disahkan sebagai WNI.


Paul adalah generasi awal pelatih asing yang berani membesut klub-klub sepakbola di Indonesia. Dia seangkatan bersama Marek Janota, Wiel Coerver, dan Fred Corba. Mereka menjadi bagian dari kebangkitan kompetisi Galatama. Mereka pun jadi saksi, betapa Galatama porak-poranda akibat pengaturan skor ulah mafia judi bola.


Pengalaman pahit saat berniaga di pedalaman dan pesisir Papua

Entah mengapa dia betah berlama-lama di Indonesia, toh secara finansial kehidupan Paul biasa-biasa saja. Selama ini selalu ada persepsi bahwa orang asing yang tinggal di Indonesia adalah kaum borjuis berdompet tebal. Paul jauh dari anggapan seperti itu. Dia mungkin "pebola naturalisasi" paling malang di Indonesia. Dari dulu hingga sekarang, dompet cekak selalu ia rasakan.


Hidupnya selama Papua di awal tahun 1990an terkadang butuh perjuangan ekstra dan menderita. Untuk tetap bisa bertahan hidup, ia tinggal di daerah pedalaman dan berdagang sembako menggunakan perahu dari pulau ke pulau di Teluk Cendrawasih.


Sialnya, usahanya itu kena tipu orang. Karena terlalu percaya, ia serahkan semua perniagaan kepada anak buahnya. Sang anak buah berdusta mengatakan kepada dirinya kapal terbalik dan barang dagangan habis tercebur ke laut. Ia pun dinyatakan bangkrut total, karena harus membayari barang-barang jualannya yang belum dibayar. Tapi ia tak menyerah dan kembali meniti usaha perniagaan berjualan sembako ke daerah tambang-tambang.


Akan terasa "ngeh" melihat bule di pedalaman Papua untuk menyambung perut ia harus menaiki motor trail dengan barang bawaan sembako penuh. "Jalannya menanjak bukan main, untuk menempuh tambang saya harus berkendara 8 jam melewati hutan sembari bawa barang-barang digendong di belakang," ucapnya.


Baru beberapa bulan usahanya berjalan, Paul kembali terkena sial. Lagi-lagi ia kena tipu akibat bujuk rayu oknum warga yang meminta ia meninggalkan barang dagangannya di tambang. Ia pun hanya mengelus dada meratapi nasibnya itu.


Kisah-Kisah Sukses yang Dibalas Air Tuba


Usai terkatung-katung selama tinggal di Papua, Paul Cumming akhirnya menemukan tempat berkarier baru. Adalah Tony Betay yang membawanya untuk menangani PSBL Bandar Lampung. Gubernur Lampung saat itu, Poedjono Pranyoto, yang memimpin Lampung selama 2 periode (1988-1993 dan 1993-1998) meminta Paul mengembangkan sepakbola di Lampung.


Paul dan Poedjono bukan kali itu baru saling kenal. Saat Paul membesut Perseman Manokwari, kebetulan waktu itu Poedjono menjabat sebagai wakil gubernur Irian Jaya. Di situlah awal perkenalan keduanya. Poedjono sedikit banyak mengerti bagaimana Paul mampu membangkitkan kesebelasan semenjana seperti Perseman. Untuk itulah, guna menghidupkan kembali PSBL, Paul diminta bekerja di Lampung.


Karenanya, selama tujuh tahun Paul membesut PSBL (1991-1998). Di saat prestasi PSBL mencapai titik puncak dengan mampu lolos ke babak 4 Besar Liga Indonesia di Senayan, krisis politik menimpa Indonesia dengan lengsernya rezim Orde Baru. Kerusuhan di Jakarta membuat kompetisi ditunda, tim yang sudah menginap di Jakarta pun terpaksa kembali pulang.


Selang beberapa bulan kemudian, efek domino krisis ekonomi nasional mulai berimbas pada klub. Demi alasan penghematan, Paul terpaksa dipensiunkan. Tahun 1998, usai pemecatan itu, ia pun kembali berjuang melawan tekanan ekonomi dan beralih haluan membuka usaha penyewaan perahu di Pantai Ringgung, Lampung Selatan.


Tragedi lain dalam kehidupan Paul pun kembali mengintai….Perahu, kios kecil dan bulan-bulanan preman.


Ia mempunyai 12 perahu atau sampan yang biasa disewakan kepada nelayan atau wisatawan. Tarif yang ia patok berkisar Rp10.000 – Rp 15.000 per hari. Ia juga memilki kios kecil di pinggir pantai. Dengan cekatan ia akan membuat kopi atau mie rebus bagi wisatawan yang memesan. Sayang, usahanya itu tidak berjalan memuaskan.


Selain sepi, ia pun kerap dipalak preman-preman. Dana setoran sewaan dan keutungan warung terpaksa ia serahkan kepada preman-preman. Terkadang ia sembunyi di kebun atau hutan selama berjam-jam, menunggu preman yang tak lelah mengganggunya itu pergi dari kiosnya.


Jika tak setor, Paul terus menerus diteror dan diganggu. Sebagai seorang pecinta hewan, banyak piaran ia punya mulai dari monyet, anjing, burung, domba hingga kucing. Tragisnya, hewan piarannya satu per satu mati diracun orang. Seekor domba jantan langka yang doyan makan kabel dan pernah membuat Lampung geger karena kebiasaannya itu pun mati diracun orang yang konon tak suka padanya.


Kriminalisasi memang sudah menjadi bagian dari hidup Paul. Bukan sekali dua perahunya dirusak dan dicuri orang. Sudah 12 kali perahunya hilang dan rumahnya kecurian. Entah siapa pelakunya.


"Saya juga heran, saya sangat dikenal di Lampung tapi kenapa mereka memperlakukan saya seperti ini?" keluhnya.


Petaka ditusuk preman


Puncak kesialan Paul terjadi 27 Juli 2001. Ketika itu dia berkunjung ke toko sembako 'Senang' di Bandar Lampung untuk membeli bahan pokok yang akan ia jual di pondok kecilnya. Kebetulan di toko itu ada 15 preman bersenjata samurai, golok dan pisau sedang memalak pemilik toko.


Tanpa sebab alasan, seseorang dari mereka mengejar Paul. Enam tusukan pisau ditancapkan ke punggungnya. Dengan luka berceceran Paul berusaha kabur dan langsung melapor ke kantor polisi. Bukan pertolongan yang ia dapat, pihak aparat malah memintanya terlebih dahulu membuat laporan bertele-tele, padahal kondisinya saat itu berlumuran darah. Sebuah kisah klasik polisi di Indonesia.


Beberapa lama kemudian, sang pelaku bernama Beny ditangkap. Belum lama luka tusukan itu terasa, keluarga Beny dan rekan-rekan premannya mendatangi Paul. Di bawah tekanan dan ancaman, secara terpaksa Paul memaafkan Beny dengan menandatangi surat damai di Polres Bandar Lampung. Alhasil hukuman Beny pun sangat ringan.


"Waktu itu di pengadilan sedang ada dua kasus persidangan, kasus penusukan saya dan kasus yang maling ayam. Yang kasus saya, Beny hanya dijatuhi hukuman 6 bulan, sedangkan yang maling ayam hukuman penjara 2 tahun," tuturnya sembari tersenyum.


Kepedihan selanjutnya


Tak tahan dengan situasi itu, akhir tahun 2001 Paul pergi ke Nabire, Papua. Saat di Papua ia memang memiliki rumah di sana. Alangkah kagetnya saat kembali ke Nabire tak ada yang tersisa dari rumah itu. Semua perabotan barang yang ia kumpulkan semasa berjuang mati-matian naik turun gunung, berlayar dari satu pulau ke pulau lain nyaris tak ada sisa. Tinggal atap dan tembok saja. Semua harta sudah ludes, apa yang ia miliki di Lampung sudah dijual demi merenovasi rumah di Nabire.


Tahun 2002, Perseman Manokwari kembali mengaetnya. Gajinya teramat kecil. "Tak apa kecil, yang penting ada uang buat makan," katanya. Sayang, lagi-lagi karir Paul tak lama. Semusim kemudian, dia tak lagi dipekerjakan Perseman.

Usai diberhentikan oleh Perseman 2003, kembali hidupnya menderita. Di tahun itu ia sempat sakit malaria, tak punya uang untuk ke dokter Paul pun merana di pondok kecilnya. Ia memang tinggal sendirian dan jauh dari keramaian, Sejak tinggal di Lampung ia memang senang menyendiri. Saat tingga di Nabire, tetangga terdekatnya paling banter 1 km. Dalam kondisi sakit malaria dan terasing, beruntung seseorang pengusaha Julius Permadi menjemputnya dan merawatnya hingga sembuh.


Setelah sehat, di tahun 2004, ia memutuskan sementara waktu untuk ikut sang Istri yang menjadi guru di Malang terlebih waktu itu Nabire dilanda gempa hebat, ia pun mengungsi. Tak menganggur lama, Paul diajak untuk melatih tim futsal Universitas Airlangga di Surabaya tahun 2005. Feedback yang dapatkan sangatlah kecil, Sebuah tempat tinggal dan Gaji bulanan 1 juta per bulan. "Tak ada pemasukan lain, semuanya diirit-irit," ungkapnya.


Setahun kemudian, PSBL kembali memanggilnya, ia pun kembali ke Lampung. Paul kali itu dijadikan alat politikus oleh calon yang hendak ingin maju jadi walikota Bandar Lampung. Jadi kendaaran politikus memang tak mengenakan. Setahun melatih PSBL ia sama sekali tak dibayar. Ada hikmah di balik musibah, Dewi fortuna mendatanginya, panggilan datang dari Bupati Teluk Wondama Papua Barat. Ia diminta mengembangkan sepakbola di kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12.000 keluarga itu.


Diberi kepercayaan, semua hal ia curahkan. Mulai dari mendesain kostum, membelikan sepatu pemain, mengumpulkan suporter, hingga membenahi manajemen klub. "Di sana itu masyarakatnya tak begitu suka bola, tak ada pemain bagus dan lapangan yang layak," tuturnya.


Apa yang dilakukan membuahkan hasil, Persewon yang biasa berkutat di Divisi III lolos ke tahapan selanjutnya. Berkat tangan dinginnya juga nama Patrich Wangai berhasil ditemukan. Bersama dengan Paul, Patrich berhasil membuat Persewon lolos ke Divisi II, setahun berikutnya ke Divisi I. Tahun 2008, ia diminta untuk membesut tim PON Papua Barat di ajang PON Kaltim.


Tak mengecewakan, anak asuhnya bermain bagus. Sang juara Jawa Timur digebuk 2-0. Hanya saja, permainan kotor yang dilakukan DKI Jakarta membuat timnya kalah 2-0. Alhasil di laga penentuan, Jatim dan DKI bermain mata. Hasil imbang di antara keduanya cukup untuk membuat Papua Barat terhenti di babak 6 besar.


Air susu dibalas air tuba


Usai gelaran PON berakhir, ia kembali ke Persewon, sampai petaka tersebut terjadi. Gonjang-ganjing kepengurusan PSSI di Jakarta tahun 2010 membuat perjalanan kompetisi jadi tak menentu. Usai menjalani kompetisi Divisi I di Banyuwangi, agar tak bolak-balik Papua-Jawa dan menghemat ongkos, tim melakukan latihan di Malang. Bulan demi bulan berlalu, sejak Desember 2010 hingga Agustus 2011 tim tetap kompak rutin latihan.


Hanya saja di penghujung bulan Agustus kabar tak enak itu tiba juga. Secara sepihak manajemen klub Persewon memecat Paul. Kerugian finansial yang ia dapat tidaklah sedikit, selain gaji yang tak dibayar selama 10 bulan ia pun harus menalangi biaya akomodasi tim selama berbulan-bulan latihan di Malang.


"Uang saya tak diganti, mau gimana lagi. Kerugian saya mencapai puluhan juta. Uang segitu bagi saya sangatlah berarti, itu uang hasil nabung bertahun-tahun," keluhnya.


Stresnya kian bertambah setelah tahu untuk kedua kalinya, satu-satunya harta yaitu rumah di Nabire, rata dengan tanah. Lebih parah lagi, semua isi perabotan rumah, elektronik, parabola bahkan sampai kusen, pintu, jendela, dan atap aluminium ludes dijarah orang “Di sana sekarang sudah rata dengan tanah, karena besi-besi rangka pun dicuri membuat tembok jadi ambruk,” ucapnya dengan raut sedih.


Walau Sakit, Terus Berusaha Lagi, Lagi, dan Lagi


Usai dipecat dan dirugikan secara sepihak oleh manajemen Persewon Wondana, Paul Cumming nyaris tak punya kegiatan, pekerjaan, dan penghasilan. Rumahnya di Lereng Semeru sejak 2011 pun bukan miliknya, melainkan investasi sang kakak, Rosalind Cumming -- seorang pelukis yang cukup punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.


Tragisnya, saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak.


Ia merasa dijahili habis-habisan para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana Rp 400 juta yang ia keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang ditaksir hanya sekitar sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi semen yang pas, arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring. Alhasil, penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki rumah.


Tapi Paul tak mau berdiam diri. Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang banting tulang sebagai guru dengan gaji dan kepedulian kepada dirinya yang tak seberapa itu. Mustahil berpangku tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk bertahan.


Karena itu, dengan modal seadanya yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian belakang rumahnya ia membuka usaha rental Play Station. Banyaknya unit mencapai 7 mesin. Tarif yang ia patok Rp 2.000/jam. Seberapa menguntungkan sih bisnis seperti ini? Ya "receh" saja. Per bulan ia hanya bisa meraup omzet kotor kisaran Rp 600 ribu - 1 juta. Hasil itu harus dipotong dengan biaya listrik dan gaji anak tetangga berusia 14 tahun yang membantunya menjaga rental.


Anak itu bernama Fikri. Saat ini dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15 ribu untuk mengurusi rental PS dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat setiap bulan jarang masuk kantong pribadi, lebih sering untuk membayar listrik, gaji Fikri maupun servis stik PS yang sering rusak.


Berbagai macam upaya ia lakukan untuk menambah uang. Meja foosball usang yang ia punya, disewakan dengan harga seribu perak setengah jam. Banyak anak-anak yang pakai, tapi seringnya dipakai tanpa bayar.


Di belakang rumahnya, ia pun memiliki kolam renang sederhana, airnya diambil dari PAM desa. Untuk memenuhi kolam itu dengan air PAM desa, Paul harus menunggu sampai 7 hari 7 malam.


Sebulan kolam itu efektif dipakai paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul seorang diri untuk menyikat dan mengurasnya. Maklum, air desa sering berlumut dan berdaki. Untuk berenang di sana, ia mematok tiket Rp 1.000 sekali masuk. Paul sebenarnya ingin menaikkan harga itu dari jadi Rp 2.000, tetapi ia merasa berat.


Dalam suatu adegan yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan keinginannya itu kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau dinaikkan jadi dua ribu, masih mau gak?" tanya Paul. "Gak Om, mahal," jawab sang bocah.


"Tuh, kan, lihat, mereka gak mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang ke saya, jika dinaikkan dua ribu, mereka lebih memilih berenang di sungai daripada di sini," ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.

Tahukah anda penghasilan yang diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya itu? Hanya Rp 25 ribu/bulan yang masuk dompet.

Play Station yang jadi sandaran hidup


Malam itu waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik. Mata Paul sayup-sayup tak kuat menahan rasa kantuk. Tapi ia tampak gelisah tak karuan. Sebabnya, dua gerombolan remaja datang secara bergantian untuk menyewa Play Station untuk dibawa pulang ke rumah. Tarif yang dipatok Paul untuk menyewa seharian adalah Rp 20 ribu/hari.


Tetapi malam itu Paul mencium gelagat tak mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama seperti berita di koran lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak SMP yang di-drop out gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari rumahnya.


Setelah diusir secara halus, ia takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak bisa tidur. Play Station miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga baginya. Kendati hasilnya tak seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang itu adalah penyambung hidup di masa senja. Ia tak ingin PS-nya kembali dicuri orang.


Sejak memulai usaha, sebenarnya ia memiliki 10 buat Play Station, namun tiga bulan lalu Paul kecurian, dua mesinnya raib dirampok maling. Yang lebih getir, yang mencuri adalah anak kampung yang dipercayakan menjadi pembantunya menjaga rental PS. Sedangkan satu mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah dikembalikan hingga sekarang.


Tinggal di Malang, Paul selalu bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya tetap saja tak lepas dari ditipu, dijahili dan dizalimi. Sering pelanggan rental PS nya kabur dan tak bayar. Sering pula ia kena SMS teror dari warga sekitar. Propaganda guru ngaji di kampung, sempat membuat usahanya nyaris gulung tikar.


"Guru ngajinya pernah bilang ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk surga. Gara-gara ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS lagi," katanya.


Kejahatan dibalas dengan senyuman


Usaha lain tak letih-letihnya dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun sempat bertani dengan menanam pohon jeruk di kebun belakang rumahnya. Ada 100 pohon, biaya perawatannya mencapai 2 juta rupiah. Hasil panen yang didapatkan hanya 450 ribu. Sialnya lagi, Paul ditipu oleh petani lokal yang mem-blow-up biaya perawatan menjadi berkali-kali lipat.


Kini pohon jeruk itu masih tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar. Terkadang Paul kesal jeruk-jeruknya yang tak terawat itu hilang dicuri orang.

"Kurang ajar juga anak-anak itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka mencuri," geramnya.


Di dusun itu terkadang Paul memang tak dihargai. Kerap diledek dan dibentak anak-anak desa yang jadi pelangganya. Hanya saja semua itu dibalas kakek tua itu dengan senyuman lebar yang jadi ciri khasnya. "Pelanggan adalah raja," tuturnya singkat.


Anak-anak itu mungkin tak tahu siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang lebih berjiwa nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela tinggal di pedalaman hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk mengembangkan sepakbola. Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit malaria hingga 14 kali: 4 kali malaria tropika, 10 kali malaria tessiana.


Takut melatih lagi karena penyakit


Sudah menjadi tekadnya, Paul enggan melatih klub-klub besar di tanah Jawa.Ia mengaku lebih bersemangat membesarkan klub-klub kecil yang belum dikenal orang macam Perseman Manokwari dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran dari Persib Bandung dan Persebaya pernah ditampiknya dengan alasan idealismenya itu.Tapi kini idealisme itu kini hanya jadi cerita. Toh ia enggan kembali menjadi pelatih sepakbola. Oleh dokter ia diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang].


"Dokter bilang ke saya gak boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi saya gak akan bangun lagi. Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma untuk kembali melatih sepakbola takut terpeleset saat latihan," ujarnya.


Tragis memang. Saat ini ia pun menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan terus menerus mengeluarkan darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun lamanya. Plester dan perban selalu terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku, tapi itu bukan penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini tak sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya. Keuangannya yang pas-pasan jadi penyebabnya.


Untuk berobat ke Kota Malang, setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta ongkos Rp 250 ribu untuk menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik motor dan angkutan umum. Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.


"Saya tak punya uang untuk sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya harus sewa mobil ke tetangga 250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya sembari mengerut.


No Country for Old Man


"Trims banyak. 99,9% orang di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya unlucky saja."


Kalimat di atas diucapkan Paul Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal About the Game di detiksport ini.


Lihatlah, dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu? Naif? Entahlah.


Mungkin ini yang disebut "cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947 ini memang mencintai Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.


Andai Paul masih menjadi warga negara Inggris, di usianya yang sudah menginjak 66 tahun ini dia akan bisa menikmati akhir pekan yang manis. Jika masih jadi warga negara Inggris, dia bisa menikmati tunjangan masa tua dari pemerintah sebesar 50 poundsterling per minggu. Dengan nilai tukar sekarang, angka itu sekitar 3 juta rupiah per bulan. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya transportasi dan kesehatan yang gratis serta mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.


Dan itu semua bisa diperolehnya dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para pembayar pajak lainnya jika sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan dengan 650 ribu yang diperolehnya dari usaha menyewakan play station.


Dan yang pasti, Paul bisa berjalan-jalan keliling London, menonton pertandingan Liga Inggris secara langsung di stadion, atau sesekali pergi ke Anfield untuk menonton kesebelasan Liverpool yang sangat dia sukai. Bukan seperti sekarang yang hanya menonton Liverpool melawan Chelsea pada kompetisi game Winning Eleven di ruangan 2 x 3 meter di belakang rumahnya.


Dia sendiri bukannya tak ingin untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar menjumpai handai taulannya yang masih hidup. Tapi nyaris mustahil dia pergi ke Inggris. Jangankan untuk berangkat ke sana, untuk sekadar berbicara dengan saudara lewat telepon pun Paul tak sanggup. Hingga hari ini, sudah hampir 38 tahun ia tak kembali ke Inggris.


Ia pernah dijanjikan tiket pulang saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja, tiket kepulangan itu bukan tiket pulang pergi ke London, tapi pulang pergi ke Pantai Ringgung, salah satu pantai di Lampung yang memang jadi kediamannya selama di Lampung.


Satu-satunya penyesalan untuk kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu ibundanya. Dia mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami di Indonesia pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia.


Dan untuk satu hal ini, untuk urusan dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Saya melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana inginnya dia mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari kelahirannya yang ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk ibunya. Tapi kado itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup dibayarnya. Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun Paul bisa melihat ibunya lagi.


Apakah Paul menyesal? Sama sekali tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia mantap berkata: "Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah menyesal jadi WNI."


Jika pun masih ada hasrat yang tersisa, dia masih memendam keinginan untuk menengok kembali tanah kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum dia menutup mata untuk selama-lamanya.


**

Saya pribadi tak ada maksud jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk kembali mengungkit-ngungkit kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk mangajaknya berbicara dan mengenang sepakbola Indonesia di dekade 1980-1990an. Saya harap, dengan berbincang bersama orang bule, kami bisa bicara-bicara secara lebih terbuka.


Saya memang mendapatkan cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi hanya sedikit. Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat sendiri berlangsungnya sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di kediamannya.


Saat saya masuk, ternyata di dalam ada tamu. Saya diam menyimak pembicaraan-pembicaraan yang ada. Tamu tersebut ternyata sekretaris notaris yang menguruskan administasi surat-surat tanah Paul. Perhatian saya mulai tertarik ketika melihat respons serta gesture Paul saat mengetahui berapa nominal pajak yang meski ia bayar.


"Dua juta yah?" katanya sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang sayangnya saya tidak punya uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650 ribu dari hasil rental PS, bagaimana?" katanya lagi.


Saya langsung mengabarkan apa yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil misi pun berubah. Editor saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul dengan lebih detil, bukan untuk menguak-nguak cerita sedih, tapi terutama untuk memotret bagaimana seorang "perantau sepakbola" sepertinya punya daya tahan yang luar biasa menghadapi deraan persoalan hidup yang seakan tiada putus.


Kisah-kisah sedih Paul memang bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Beberapa media besar seperti koran Tempo, Kompas, majalah Kartini dan media-media lain, baik cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah hidupnya.


Saat kisahnya diangkat ke majalah Kartini tahun 2001 silam, banyak orang yang ingin ingin menyalurkan bantuan dan meminta nomor rekeningnya. "Saya tolak permintaan itu, saya bukan tipikal orang yang dengan mudah menerima bantuan orang lain selama saya mampu berusaha," katanya.


Prinsipnya itu dilakukan hingga sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan menjelang kepulangan pun enggan ia terima. Setelah saya paksa dan "ancam" baru ia mau menerimanya.


Dia punya rasa hormat yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa hormat yang ia punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira, itulah sebabnya dia masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu sangat baik dan ramah, saya mungkin hanya unlucky saja".


**

Setelah feature saya beredar di dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak jelas, selain karena sinyal yang menjemukkan, intonasi dan logatnya pun aneh. Ternyata dia Paul Cumming. Alamak, saya lupa menyimpan nomornya.


Dalam perbincangan yang singkat itu, Paul berterima kasih dan senang dengan respons masyarakat Indonesia terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa ketika dia mengeluhkan ada salah satu tulisan di kolom komentar yang bernada sinis kepadanya. Tetapi ia tak marah. "Komentar semuanya bagus," katanya dengan logat bahasa Inggris yang masih teramat kental.


Paul memang masih bisa mengakses internet. Selama ini hanya akses internetlah yang menghubungkan Paul ke dunia luar. Saling bertukar email dengan saudara dan mantan rekan yang menggeluti dunia sepakbola. Internet itu diaksesnya lewat laptop usang dan sebuah modem yang sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga. Kadang dapat, kadang tidak.


Laptop itu ia beli 2010 silam semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu yang melekat di atas keyboard laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan barang itu memang akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari rentalan PS selalu ia sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara selektif untuk menghemat pulsa.


Selain laptop, kekayaan lain yang dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat kabar. Paul memang apik dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren yang saya temukan di sana, mulai dari teamsheet final Persib Bandung versus Perseman Manokwari tahun 1986 hingga lampiran Match Day Program klub lokal Inggris tahun 1903.


Khusus kliping tentang dirinya sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa, kliping-kliping yang selalu memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari diminta deportasi oleh Solihin GP yang waktu itu menjabat Ketua Umum Persib tahun 1985 [saat itu Persib bertemu Perseman di final Divisi Utama Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung 2001 silam.


Ada pelajaran hidup yang saya dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran dan kesabaran, ia bukan tipikal orang senang menyelesaikan masalah dengan kemarahan. Beberapa kali saya tertawa geli saat ia menceritakan bagaimana mantan-mantan asisten dan pemainnya bersikap yang membuat ia jengkel, mulai dari pengaturan skor, mabuk-mabukan, melakukan tindak kriminal hingga menghamili anak orang. Semua itu diceritakannya dengan jenaka tanpa ada dendam.


Humor seringkali menyelamatkan seseorang dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan. Paul tahu benar fungsi humor itu. Jika ada yang mengatakan bahwa humor paling berkualitas adalah humor yang sanggup menertawakan diri sendiri, Paul adalah masternya. Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih panjang -- setidaknya agar waras di kejiwaan?


Sepakbola adalah hidup Paul Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia dikecewakan berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak mungkin dia lupakan. Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.


Dia kini tak bisa lagi melatih karena cedera tulang belakangnya membuatnya sangat berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya yang bisa membuatnya sakit dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter berkata padanya.


Agar tetap terhubung dengan sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental play station adalah salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara fiktif sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya pada sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya sendiri.


Di masa mudanya, semua uang saku yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton pertandingan di hari Sabtu. When saturday comes bukan parafrase yang klise bagi Paul muda, itu parafrase sangat menyenangkan baginya.

Di masa tuanya sekarang, dia beruntung mempunyai match day programme yang meng-cover lebih dari 150 ribu pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu membuatnya bisa mengakses starting-line up ribuan pertandingan, siapa yang cetak gol, menit berapa terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.


Jika anda menelusuri ocehan Paul di twitter, beberapa hari lalu dia sempat merespons kicauan seseorang yang berkicau tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons begini: "Saya punya matchday programme antara St. Kitts & Nevis lawan Oldham Athletic pada 24 Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.

Bayangkanlah seorang tua menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data pertandingan, tanpa suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.

"Football means everything to me. Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul kepada saya melalui pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian penutup tulisan ini.


Paul memiliki mimpi lain, mimpi itu mungkin bisa saja terwujud di bulan Juli nanti. Mimpi itu adalah bertemu tim idola: Liverpool.


Meskipun tinggal di London, Paul amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di stadion-stadion elite di Inggris. Di masa mudanya awayday adalah hal yang lazim saat ia mendukung tim lokal Hendon Aways, sebuah klub kecil di London. Sayangnya di masa-masa itu ia tak pernah sama sekali menyaksikan Liverpool berlaga secala langsung. Kendati begitu, kekagumannya pada Liverpool tetap terjaga baik-baik dalam ingatan masa mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.


Paul ingin sekali kembali ke Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia Juli nanti. Ia tak berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP sama seperti saat dirinya bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes Sawor dll. menuai kejayaan Perseman Manokwari di tahun 1985-1986.


Baginya duduk di kursi termurah pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia sudah putus asa, pesimis mimpinya tersebut tak akan terlaksana. "Keinginan pasti ada, tapi dengan kondisi seperti ini, saya tak bisa. Tak punya uang. Saya nonton dari televisi saja," lanjutnya sembari tersenyum, dengan bola mata yang agak membesar memancarkan kejenakaan yang agak pahit.


Saat itu juga saya kembali mengontak editor saya di Bandung. Lewat pesan pendek, saya ceritakan mimpi Paul untuk menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor saya tak segera membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor saya membalas: "Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi ke GBK nonton Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung nanti. Teknis kita atur kemudian."


Belakangan saya tahu, kenapa editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi dengan rekan kami lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul menulis artikel secara rutin untuk Pandit Football. Menilik kecenderungan Paul yang enggan merepotkan orang lain, memintanya menulis artikel adalah pilihan yang sepertinya akan jadi opsi yang terhormat untuknya.


Saya segera menyampaikan permintaan editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan itu. Saya katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya, tentang taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic, atau esai-esai lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang sepakbola. Apapun itu.

Setelah feature pertama tentang Paul itu tayang di subkanal About the Game ini, saya menagih artikel pertama yang ditulisnya. Dia minta maaf karena belum bisa menyelesaikan tulisan. Katanya: "Maaf, saya sudah 5 malam tidak tidur gara-gara jaga play station. Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe …."


Saya merasa bersalah dan sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya sendiri jika harus menagih artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di belakang permintaan maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul mengatakan itu tidak dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan bola mata bulat yang memancarkan cahaya terang yang menandakan dia masih hidup, akan tetap hidup, setidaknya mencoba sekuatnya terus bertahan hidup!


You’ll never walk alone, Paul! (*)

*) diambil dari tulisan Aqwam Fiazmi Hanifan - detikSport Jumat, 14/06/2013 16:30 WIB