Pada suatu hari di bulan Maret 2013, di lapangan tak jauh
dari Stadion Gelora Bung Karno ….
Sejumlah pemain yang dipanggil Badan Tim Nasional
mengeluhkan latihan fisik yang diberikan oleh Luis Manuel Blanco. Dengan alasan
sudah terlalu letih mengikuti kompetisi ISL dan baru sampai di Jakarta, Hamkah
Hamzah dan beberapa pemain lain meninggalkan sesi latihan.
Mereka kemudian menyaksikan di sudut lain di lapangan, para
pemain lain tetap asyik melahap menu latihan. Andik Vermansyah, Sergio van
Dijk, Irfan Bachdim dan lain-lain, tetap tekun berlatih.
Pada suatu hari di bulan Maret tahun 1953, di pinggir
Stadion Ikada ...
Orangnya gemuk, kulitnya hitam dan umurnya sudah cukup tua:
41 tahun. Kendati begitu, tenaga dan suaranya masih kuat, Di tepi lapangan tak
henti-henti ia berteriak memaki-maki para pemain yang tidak menurut
perintahnya. Terlebih kepada pemain-pemain yang senang melakukan gerakan
tipuan, pria tua itu pasti akan marah besar dan tak berhenti mengomel.
Namanya Choo Seng Que. Dia pelatih timnas Indonesia pertama
sejak tahun 1951. Orang Singapura satu ini punya pengalaman 28 tahun di dunia
sepakbola. Kedatangannya ke Indonesia tak lepas dari peran serta salah seorang
pengusaha bernama Tony Wen, yang membayar gajinya selama melatih timnas.
Kekalahan telak 0-3 dari India di perempatfinal Asian Games
1951 menjadi luka yang sangat menyakitkan bagi lelaki yang akrab disapa
"Uncle Choo" ini. Bagaimana tidak, ia diminta mempersiapkan timnas di
saat kompetisi sepakbola PSSI belum berjalan. Kompetisi 1951 sendiri baru
berjalan bulan Agustus, sedangkan Asian Games itu berlangsung Maret.
Karenanya, setelah mendapatkan pengakuan FIFA di tahun 1952,
guna mempersiapkan timnas yang tangguh di tahun 1953, Uncle Choo kembali
menyeleksi dengan ketat sekaligus melakukan training camp kepada para pemain
sebelum timnas melakukan lawatan ujicoba, 20 hari keliling tiga negara di
Filipina, Hongkong dan Thailand.
Pemain Bintang Enggan Bergabung
Seluruh pemain terbaik di Indonesia dipanggi Choo untuk
secepatnya merapat ke Jakarta. Mereka direncanakan mengikuti pemusatan latihan
timnas kira-kira sekitar 2 minggu lamanya.
Hampir semua pemain penting Indonesia saat itu dipanggil.
Sayangnya, beberapa pemain langganan timnas seperti Aang Witarsa (Persib),
Asqua, Sian Lion, Tiong Ho Da (Persebaya), Chris Ong dan Sugiono (Persija)
serta Sunar (PSM Makassar), tak terlihat batang hidungnya. Mereka ternyata
enggan mengikuti pemusatan latihan.
Tapi Choo bergeming. Kekurangan para pemain inti itu tak
mempengaruhi jalannya program latihan karena ternyata pemain pengganti sudah
siap mengisi posisi yang ditinggalkan pemain "nakal" tersebut. Bahkan
terlihat beberapa pemain yang tak dipanggil oleh Choo ikut menggabungkan diri
atas inisiatif pribadi. Sebut saja Walandouw dan Sudjaja dari Surabaya. Mereka
dikirim dengan biaya daerahnya sendiri agar kemudian hari dapat memberikan
metode seperti latihan timnas di tempatnya masing-masing.
Fasilitas Terbatas tapi Memadai
Pemusatan latihan dipilih di Stadion Ikada. Semua hal yang
dilakukan baik itu latihan, menginap dan makan semuanya dilakukan di sana.
Fasilitas serba terbatas. Pasalnya, mau tidak mau, para pemain harus tidur di
ruang ganti pakaian.
Ketua PSSI kala itu, Maladi, bahkan meminta maaf atas
ketidaknyamanan yang diterima pemain.
"Ruangan itu dimaksudkan hanya untuk ganti ruang
pakaian, jadi tak sepantasnya dijadikan tempat tidur," katanya.
Namun sebenarnya, kondisi sarana dan pra-sarana di Stadion
Ikada tidak buruk-buruk amat. Sejumlah fasilitas ternyata memiliki sarana yang
cukup memuaskan, hanya saja memang kamar-kamarnya terlalu kecil dan sering kali
kekurangan air. Soal makanan? Jangan tanya itu, semuanya terjamin enak, bergizi
dan bervitamin. Untuk soal mengolah makanan untuk pemain diserahkan kepada
Nyonya Sukamto.
Keletihan usai berlatih selalu diluapkan secara rakus dengan
makan masakan yang dihidangkan di atas meja. Kelezatan masakan yang ada membuat
para pemain jarang makan lagi di luar tempat pemusatan latihan.
Kebaikan PSSI lainnya adalah, tiap satu pemain diberi
fasilitas mencuci dan menyetrika pakaian secara gratis. Diberikan pula satu
tempat tidur dengan satu kelambu dan sprei serta sarung bantal berwarna putih.
Tak lupa tiap orang mendapatkan uang saku Rp 10/hari.
Soal kesehatan? Tiap hari kesehatan pemain pun dipantau oleh
dokter. Pendek kata, umumnya memuaskan.
Training Camp Semua Terkait Bola
Fasilitas nyaman yang didapat berbanding terbalik dengan
program latihan yang diterima pemain. Tak ada kata nyaman, tak ada kata manja,
semua pemain dipaksa untuk habis-habisan dan berdarah-darah agar terus
konsisten dalam mengikuti program-program yang disusun Uncle Choo.
Jam 5.30 semua pemain harus bangun, dilanjut dengan latihan
fisik hingga jam 07.00. Setelah diberi kesempatan setengah jam untuk sarapan
pagi, jam 07.30 semua harus berkumpul lagi untuk berlatih hingga jam 09.00.
Jam 11.00 – 12.00 pemain diberi pengarahan soal latihan
teori oleh Choo. Di sore hari, jam 16.00-18.00, latihan kerja sama tim menjadi
agenda utama. Tak berhenti di situ. Usai diberi kesempatan istirahat dan makan
malam, semua pemain wajib berkumpul pukul 21.00 untuk diberi pemahaman soal
latihan mental. Baru jam 22.00 semua pemain bisa kembali ke tempat tidur.
Demikianlah sehari-hari yang dilakukan mereka, tak ada lagi
pekerjaan selain bermain sepakbola dan berdiskusi atau berbicara tentangnya. Di
tempat pemusatan latihan dilarang keras merokok, minum es, kopi dan minuman
keras. Jika ketahuan ancamannya akan langsung diusir.
Dengan adanya disiplin keras maka dengan mudah Choo dapat
mengetahui perilaku dan pribadi tiap-tiap pemainnya. Bagi yang sering
membangkang dan tak tahan banting dengan mudah dicoret Choo dari daftar pemain
timnas.
Latihan Fisik: Berat di Awal, Nikmat di Akhir
Di hari-hari pertama, sebagaimana para junior mereka
berpuluh tahun kemudian macam Hamka Hamzah dkk., para pemain terlihat sangat
keberatan dengan pola latihan yang diberikan Choo. Yang terberat tentunya adalah
latihan fisik, yang memang jarang dilakukan oleh para pemain timnas di
zamannya. Bagi para pemain, latihan fisik tidak seberapa penting namun bagi
Choo fisik adalah segalanya.
"Kelesuan dan kekakuan badan setelah melakukan gerak
badan di pagi hari memperlihatkan latihan fisik sangat jarang dilakukan pemain
kita," ucap Choo, seperti dikutip di Majalah Olahraga edisi Maret 1953.
Dan betul saja, baru dua hari pemusatan latihan,
"korban" metode latihan Choo sudah sedemikian banyak. Penyerang PSM
Makassar, Ramang, sudah terlihat berjalan pincang kakinya. Muskita jatuh sakit
dan mendapatkan perawatan dokter. Latihan berat, seperti menyundul bola yang
digantung ratusan kali, mendribel bola dengan tempo yang cepat, dll., dicermati
oleh Choo dengan penuh perhatian.
Akan tetapi, meskipun terlihat berat, para pemain berlatih
sungguh-sungguh. Para pemain sadar betul bahwa latihan dengan waktu yang sangat
singkat ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Mereka juga tahu, bahwa
walaupun pemusatan latihan hanya 2 minggu, tetapi dengan kesungguhan seperti
itu, latihan dari Choo akan memberikan hasil yang memuaskan.
Dan itu tergambar dalam lawatan tim nasional ke tiga negara.
Dari 9 kali pertandingan, timnas hanya kalah satu kali, itu pun dari Korea
Selatan dengan skor 3-1. Sisa 8 pertandingan lainnya yang notabene melawan
klub-klub lokal berujung kepada kemenangan. Tak tanggung-tanggung, dari 9
pertandingan itu, PSSI berhasil mencetak 46 gol dan hanya kebobolan 9 gol.
Persoalan Mentalitas
Apakah Ramang, dkk., saat itu manusia super? Sama sekali
bukan. Penyerang Persib Bandung dan abang dari legenda Persib Max Timisela
yaitu Freddy Timesela, saat sangat kesal dengan letihnya latihan, sempat
mengeluh: "Kalau terlalu berat, saya mau pulang aja!"
Tetapi keluhan macam yang diutarakan Freddy itu selalu
diutarakan setelah sesi latihan. Ramang dan rekan-rekannya bukan manusia super.
Mereka juga kesal dan mungkin bad mood. Mereka juga berkeluh kesah. Tapi mereka
hanya mengeluh saat sesi latihan usai, tidak saat sesi latihan sedang
berlangsung. Setelah sesi latihan kelar, terutama dalam sesi-sesi indoor [baik
saat makan maupun saat membahas taktik], persoalan-persoalan selama latihan
dibicarakan secara terbuka dan tidak main belakang.
Cerita macam ini kembali terulang saat tim nasional
Indonesia dilatih oleh Anatoly Polosin jelang SEA Games 1991. Para pemain
digojlok habis-habisan. Banyak pemain tumbang. Banyak pemain kabur dari
pemusatan latihan, tidak terkecuali para pemain senior. Ini memaksa Polosin
akhirnya banyak menggunakan pemain muda. Hasilnya: trofi [medali emas]
bergengsi terakhir yang pernah Indonesia dapatkan. [Kisah lebih detail tentang
periode ini akan dituliskan pada artikel berikutnya -- red.]
Metode latihan adalah bagian dari sport science. Dan
sebagaimana science, metode latihan pun tidak pernah stagnan dan terus
berkembang. Temuan-temuan baru akan terus bermunculan dan metode latihan pun
akan mengikut temuan-temuan baru itu. Tapi apa artinya sport science yang terus
berkembang jika mentalitas para pemainnya tak ikut berkembang?
Memang benar, Hamka dkk., itu datang ke pemusatan latihan di
tengah kompetisi ISL. Tapi kenapa Sergio van Dijk yang juga main di ISL sama
sekali tak mengeluh, padahal secara kualitas semua orang akhirnya tahu level
Van Dijk seperti apa? Dan kenapa Stefano Lilipally dan Bachdim, yang juga
datang di tengah kompetisi, plus harus menempuh jarak jauh karena mereka
bermain di luar, juga bisa tetap melahap menu latihan?
Saya teringat apa yang terjadi di Persib Bandung dalam sesi
latihan pra-musim 2010 di Cirebon. Saat itu Persib dilatih oleh Daniel Darko
yang menerapkan latihan fisik berat. Di hari yang krusial itu, para pemain
Persib yang latihan di Stadion Bima Cirebon sangat kepayahan melahap menu
latihan. Kalau tidak salah, Munadi sampai kram berkali-kali.
Beberapa jam kemudian, dalam sesi makan siang, Markus
Harison datang terlambat. Darko tak senang dan marah. Markus tak terima dan
membanting gelas serta piring berisi makanan yang sedang dipegangnya. Efeknya:
para pemain memboikot dan menolak dilatih Darko. Cerita selanjutnya sama,
nyaris seperti nasib Blanco: karir kepelatihan Daniel Darko di Persib pun usai
jauh sebelum kompetisi dimulai.
Insiden itu terjadi saat pra-musim. Jadi alasan Hamka, dkk.
sekarang tak bisa digunakan oleh Markus, dkk. di Persib saat itu. Tapi toh
pemogokan tetap terjadi, dengan alasan yang hampir persis. Saat itu, Persib
diperkuat para pemain yang masih berstatus sebagai pemain tim nasional, seperti
Markus, Eka Ramdani, Maman, Hariono sampai Nova Arianto.
Kritik dengan mudah diajukan pada reputasi, kredibilitas dan
kompetensi Blanco atau Daniel Darko. Tapi, percayalah, selalu tersedia alasan
bagi mereka yang memang gigih mencari dalih.
* Sebuah tulisan menarik dari Aqwam Fiazmi Hanifan yang diambil dari detikSport, Selasa, 19 Maret 2013
===
* Sumber: Majalah Olahraga PSSI edisi Maret 1953, Buku Ulang
tahun PSSI ke 70, RSSSF.
* Sebuah tulisan menarik dari Aqwam Fiazmi Hanifan yang diambil dari detikSport, Selasa, 19 Maret 2013
Posting Komentar